“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun
dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang
sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka
disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya;
dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anfaal, 8: 54). !
Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara kota
lainnya di Mesopotamia dalam masa yang sama, dikenal sebagai salah satu
peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai negara terorganis-asi dengan
tatanan sosial paling maju di zamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan dan
menggunakan tulisan sekitar alaf ke-3 SM, serta memanfaatkan Sungai Nil dan
terlindung dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah
negeri tersebut, sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban
mereka.
Namun, pada masyarakat yang “beradab” ini pula berlaku
“pemerin-tahan Fir’aun”, suatu sistem kekafiran yang paling jelas dan lugas
dise-butkan dalam Al Quran. Mereka penuh kesombongan, mengesamping-kan
kebenaran, dan menghina Tuhan. Dan pada akhirnya, peradaban me-reka yang maju,
tatanan sosial politik, bahkan militer mereka yang kuat tidak bisa
menyelamatkan mereka dari kehancuran.
Otoritas Para Fir'aun
Peradaban bangsa Mesir bersumber dari kesuburan Sungai
Nil. Bang-sa Mesir menghuni Lembah Nil karena melimpahnya air di sungai ini,
hingga mereka dapat mengolah tanah dengan persediaan air dari sungai tanpa
tergantung kepada musim hujan. Ahli sejarah Ernest H. Gombrich menyatakan dalam
tulisannya bahwa Afrika sangat panas dan terkadang tidak ada hujan selama
berbulan-bulan. Karena itulah, banyak wilayah di benua besar ini luar biasa
keringnya. Bagian-bagian itu dihampari oleh lautan pasir yang sangat luas.
Kedua sisi Sungai Nil juga ditutupi pasir dan di Mesir pun jarang turun hujan.
Namun di negeri ini, hujan tidak terlalu dibutuhkan karena Sungai Nil mengalir
tepat di tengah seluruh negeri.33
Jadi barang siapa dapat menguasai Sungai Nil yang
begitu penting-nya, dia pun dapat menguasai sumber terbesar perdagangan dan
per-tanian Mesir. Para Fir’aun bisa melanggengkan dominasinya atas Mesir dengan
jalan ini.
Lembah Nil yang sempit dan memanjang tidak
memungkinkan unit-unit kependudukan yang bertempat di sekitar sungai berkembang
ba-nyak. Karena itulah bangsa Mesir membentuk peradaban yang terbangun dari
kota-kota kecil dan perkampungan, bukan dari kota-kota besar. Faktor ini juga
memperkuat dominasi para fir’aun atas masyarakatnya.
Raja Menes dikenal sebagai fir’aun Mesir pertama yang
menyatukan seluruh Mesir Kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah
negara kesatuan, kurang lebih pada alaf ke-3 SM. Kenyataannya, istilah
“fir’aun” semula merujuk kepada istana raja Mesir, namun perlahan-lahan menjadi
gelar dari raja-raja Mesir. Begitulah sebabnya raja yang memerintah Mesir kuno
mulai disebut ”fir’aun”.
Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari
keseluruhan negara dan wilayah-wilayahnya, para fir’aun ini dianggap sebagai
pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam kepercayaan Mesir Kuno yang
politeistik dan menyimpang. Administrasi tanah rakyat Mesir, pembagian,
penda-patan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan produksi dalam
batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir’aun.
Absolutisme dalam rezim tersebut melengkapi
pemerintahan fir’aun dengan kekuasaan yang memungkinkannya melakukan apa pun
yang ia inginkan. Pada saat penegakan dinasti pertama, kala Menes yang menjadi
raja Mesir pertama dengan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir, Sungai Nil
disalurkan kepada penduduk melalui saluran-saluran air. Di samping itu, seluruh
produksi berada di bawah kontrol dan seluruh barang dan jasa diberikan untuk
sang raja. Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang dan jasa dalam
proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja, yang telah
menggalang kekuasaan sedemikian besar di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam
ketun-dukan. Raja Mesir, atau kelak disebut fir’aun, dipandang sebagai makhluk
suci yang memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua kebutuhan rakyatnya: dan
ia dipandang sebagai tuhan. Akhirnya, para fir’aun percaya bahwa mereka memang
tuhan.
Perkataan Fir’aun yang disebutkan dalam Al Quran dan
diucapkan-nya dalam percakapan dengan Musa membuktikan bahwa mereka me-megang
kepercayaan ini. Ia mencoba mengancam Musa dengan mengata-kan: ”Sungguh jika kamu
menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang
yang dipenjarakan”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 29), dan ia berkata kepada
orang-orang di sekelilingnya: ”Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku”.
(QS. Al Qashash, 28: 38). Ia mengatakan ini semua karena menganggap dirinya
adalah tuhan.
Kepercayaan Religius
Menurut Herodotus, seorang ahli sejarah, bangsa Mesir
Kuno adalah bangsa yang paling “taat” di dunia. Namun agama mereka bukanlah
aga-ma kebenaran, melainkan sebuah bentuk politeisme sesat, dan mereka tidak
bisa meninggalkan agama mereka yang sesat karena teguh me-megang tradisi.
Bangsa Mesir Kuno sangat dipengaruhi oleh lingkungan
alam mere-ka. Keadaan alam Mesir secara sempurna melindungi negara tersebut
dari serangan luar. Mesir dikelilingi gurun pasir, pegunungan, dan lautan di
semua sisi. Serangan terhadap negara tersebut hanya mungkin dilaku-kan dengan
dua jalan, dan sangat mudah bagi mereka untuk memperta-hankan diri. Bangsa
Mesir tetap terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam ini. Namun
abad-abad yang berlalu mengubah isolasi ini menjadi kefanatikan buta. Akhirnya,
bangsa Mesir memperoleh cara berpikir yang membelenggu mereka dari perkembangan
dan hal-hal yang baru, serta sangat konservatif terhadap agama mereka. “Agama
nenek moyang” yang sering disebutkan dalam Al Quran menjadi nilai paling
penting bagi mereka.
Karena itulah Fir’aun dan para petingginya ingkar
ketika Musa dan Harun mengumum-kan agama yang hak kepada mereka, dengan
mengatakan:
“Apakah kamu
datang kepada ka-mi untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek
mo-yang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempu-nyai kekuasaan di
muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.” (QS. Yunus, 10: 78) !
Agama bangsa Mesir Kuno ber-cabang-cabang, yang
terpenting adalah agama resmi negara, berba-gai kepercayaan rakyat, dan
keper-cayaan terhadap kehidupan setelah kematian.
Menurut agama resmi negara, fir’aun adalah mahkluk
yang suci. Dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan
tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melin-dungi mereka di
dunia.
Kepercayaan yang berkembang luas di kalangan
masyarakat sangat rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan kepercayaan
resmi negara ditekan oleh pemerintahan para fir’aun. Pada dasarnya, mereka
mempercayai banyak tuhan, dan tuhan-tuhan ini biasanya digambarkan memiliki
kepala binatang dengan tubuh manusia.
Kehidupan setelah mati merupakan bagian terpenting
dalam keper-cayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup
setelah jasad mati. Menurut kepercayaan ini, roh-roh orang mati dibawa oleh
ma-laikat-malaikat khusus kepada Tuhan yang menjadi hakim dan 42 saksi hakim
lain; sebuah timbangan diletakkan di tengah-tengah, dan hati sang roh ditimbang
dengannya. Mereka yang kebaikannya lebih berat dibawa ke suatu tempat yang
indah dan hidup dalam kebahagiaan, sedang mereka yang kejahatannya lebih berat
dikirim ke suatu tempat di mana mereka mendapatkan siksaan yang berat. Di sana
mereka disiksa selama-lamanya oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan
“Pemakan Kematian”.
Kepercayaan bangsa Mesir terhadap hari akhirat jelas
menunjukkan kesejajaran dengan kepercayaan monoteistik dan agama yang benar.
Bah-kan kepercayaan mereka kepada hari akhirat saja membuktikan bahwa agama
yang benar dan wahyu telah mencapai peradaban Mesir Kuno, namun agama ini
kemudian diselewengkan, dan monoteisme berubah menjadi politeisme. Seperti
telah diketahui, para pemberi peringatan yang menyeru manusia untuk mengesakan Allah
dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, telah diutus di Mesir dari
masa ke masa, sebagaimana kepada seluruh penduduk dunia pada satu masa atau
masa yang lain. Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara
terperinci diceritakan dalam Al Quran. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting
karena menyebutkan kehadiran Bani Israil di Mesir dan bermukimnya mereka di
sana.
Sementara, dalam sumber-sumber sejarah terdapat
rujukan tentang orang-orang Mesir yang menyeru manusia kepada agama-agama
Mono-teistik, bahkan sebelum nabi Musa. Salah satunya adalah fir'aun yang
paling menarik dalam sejarah Mesir, yakni Amenhotep IV.
Fir'aun Amenhotep IV yang Monoteistik
Fir’aun-fir’aun Mesir pada umumnya bersifat brutal,
menindas, suka berperang dan bengis. Umumnya mereka menganut agama politeisme
Mesir dan mendewakan diri mereka melalui agama ini.
Namun ada seorang fir’aun dalam sejarah Mesir yang
sangat berbeda dengan lainnya. Fir'aun ini mempertahankan kepercayaan terhadap
Pencipta tunggal dan mendapatkan perlawanan hebat dari para pendeta Ammon, yang
mendapat keuntungan dari agama politeisme dan bebe-rapa prajurit yang mendukung
mereka, sehingga akhirnya ia terbunuh. Fir’aun ini adalah Amenhotep IV yang
mulai berkuasa di abad ke-14 SM.
Ketika dinobatkan pada tahun 1375 SM, Amenhotep IV
berseberang-an dengan konservatisme dan tradisionalisme yang telah berlangsung
selama berabad-abad. Hingga saat itu, struktur masyarakat dalam hu-bungan
rakyat dengan istana kerajaan terus berlanjut tanpa perubahan. Masyarakat
menutup pintu rapat-rapat dari peristiwa di luar dan pem-baruan agama.
Konservatisme ekstrem ini, yang juga disebutkan oleh para pengembara Yunani
Kuno, diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir yang telah disebutkan di atas.
Agama resmi yang ditekankan para fir'aun kepada rakyat
menuntut kepercayaan yang tidak terbatas dalam segala hal yang lama dan
tradisi-onal. Namun Amenhotep IV tidak menganut agama resmi tersebut. Ahli
sejarah Ernst Gombrich menulis:
Dia (Amenhotep IV) mengubah banyak kebiasaan yang
disucikan oleh tradisi yang telah berbilang abad. Ia tidak mau menyembah
berbagai tuhan kaumnya yang aneh-aneh bentuknya. Baginya hanya ada satu Tuhan
yang perkasa, Aton, yang ia sembah dan tampilkan dalam bentuk matahari. Ia
menyebut dirinya Akhenaton, mengikuti nama tuhannya dan memindahkan istananya
di luar jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang lain ke suatu tempat yang
sekarang disebut El-Amarna.34
Setelah kematian ayahnya, Amenhotep IV muda men-dapat
tekanan hebat. Tekanan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia mengembangkan
sebuah agama yang berdasarkan monoteisme dengan mengubah agama politeistik
tradisi-onal Mesir dan berupaya melakukan perubahan-perubahan radikal dalam
berbagai bidang. Namun para pemimpin Thebes tidak mengizinkannya menyampaikan
ajaran agama ini. Amen-hotep IV dan para pengikutnya kemudian pindah dari kota
Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Di sini mereka membangun sebuah kota
baru dan modern yang dinamakan ”Akh-en-aton”. Amenhotep IV mengubah namanya
yang berarti “Kegembiraan Amon” menjadi Akh-en-aton yang berarti “Tunduk kepada
Aton”. Amon adalah nama yang diberikan kepada totem terbesar dalam kepercayaan
politeisme bangsa Mesir. Menurut Amenhotep, Aton adalah “pencipta langit dan
bumi”, penyamaan sebutannya untuk Allah.
Karena merasa terganggu oleh perkembangan ini, para
pendeta Ammon berkeinginan merenggut kekuatan Akhenaton dengan mengambil
kesempatan dari terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Akhenaton akhirnya mati
diracun oleh komplotan itu. Para fir’aun setelahnya berhati-hati untuk tetap
berada di bawah pengaruh para pendeta tersebut.
Setelah Akhenaton, berkuasa para fir’aun dengan latar
belakang ke-militeran. Mereka membuat tersebarnya kembali politeisme dari
tradisi lama dan berusaha keras untuk kembali ke masa lalu. Hampir seabad
kemudian, Ramses II, yang paling lama kekuasaannya dalam sejarah Mesir,
diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses ada-lah fir’aun yang
menyiksa bani Israil dan berperang melawan Nabi Musa.35
Kedatangan Nabi Musa
Karena begitu hebatnya kefanatikan mereka, bangsa
Mesir Kuno ti-dak mau meninggalkan kepercayaan mereka yang tertanam kuat. Walau
telah datang kepada mereka beberapa orang yang menyerukan untuk me-nyembah
Allah semata, kaum Fir’aun selalu berpaling kepada keper-cayaan mereka yang
sesat. Akhirnya, Nabi Musa diutus Allah sebagai rasul bagi mereka, selain
karena mereka telah mengambil sistem penuh kepalsuan yang bertentangan dengan
agama yang hak, juga karena mere-ka telah melakukan perbudakan atas Bani
Israel. Musa diperintahkan untuk mengajak bangsa Mesir kepada agama yang hak,
juga menye-lamatkan Bani Israil dari perbudakan dan menunjuki mereka jalan yang
benar. Dalam Al Quran hal ini disebutkan:
“Kami
membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'-aun dengan benar untuk
orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di
muka bumi dan menjadi-kan penduduknya berpecah belah, dengan menindas
segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup
anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk ke dalam orang-orang
yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak mem-beri karunia kepada orang-orang
yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan
kedu-dukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan
Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.”
(QS. Al Qashash, 28: 3-6) !
Fir'aun ingin mencegah bertambahnya Bani Israil dengan
cara mem-bunuh semua bayi laki-laki yang baru lahir. Karena itulah, dengan
ilham dari Allah SWT, ibunda Musa menempatkan Musa ke dalam sebuah ke-ranjang
dan menghanyutkannya ke sungai. Hal inilah yang membawa-nya ke istana Fir'aun.
Inilah ayat dalam Al Quran yang menyebutkan hal ini:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ”Susukanlah dia
dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai
(Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepada-mu, dan menjadikannya (salah
seorang) dari para rasul. Maka dipu-ngutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang
akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan
Haman beser-ta tentara-tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”
Dan berkatalah
istri Fir’aun: ”(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Ja-nganlah kamu membunuhnya,
mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak”,
sedangkan mereka tiada menyadari.” (QS. Al Qashash, 28 : 7-9) !
Istri Fir’aun mencegah Musa dibunuh dan mengangkatnya
menjadi anak. Begitulah, Musa menghabiskan masa kecilnya di istana Fir'aun.
Dengan pertolongan Allah, ibu kandung Musa dibawa ke istana sebagai ibu asuhnya.
Ketika telah dewasa, suatu hari Musa melihat seorang
Bani Israil dianiaya oleh seorang Mesir. Lalu Musa menengahi dan memukul si
orang Mesir dengan satu pukulan yang ternyata mengakibatkan kema-tiannya. Walau
Musa hidup di istana Fir’aun dan telah diangkat anak oleh permaisuri, pimpinan
kota memutuskan hukuman mati untuk Musa. Mendengar ini, Musa pun melarikan diri
dari Mesir dan pergi ke Madyan. Pada akhir periode yang ia habiskan di sana,
Allah berfirman langsung kepadanya dan memberinya status kenabian. Ia
diperintahkan kembali kepada Fir’aun dan menyampaikan risalah Allah kepadanya.
Istana Fir’aun
Musa dan Harun pergi kepada Fir’aun untuk menjalankan
perintah Allah dan menyampaikan kepadanya risalah agama kebenaran. Mereka
meminta Fir’aun berhenti menyiksa bani Israel dan membiarkan mereka pergi
bersama Musa dan Harun. Fir'aun tak dapat menerima kenyataan bahwa Musa yang
telah dipeliharanya bertahun-tahun dan kemungkin-an besar menjadi pewaris
tahtanya kelak, menentangnya dan berbicara kepadanya seperti itu. Dengan alasan
itu, Fir’aun menuduh Musa tidak tahu berterima kasih:
“Fir'aun
menjawab: ”Bukankah kami telah mengasuhmu di dalam (keluarga) kami, waktu kamu
masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan
kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu
termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna”. (QS. Asy-Syu'araa’,
26: 18-19) !
Fir’aun mencoba mempermainkan perasaan Musa dan
mempenga-ruhi kata hatinya. Seolah ia mengatakan bahwa karena ia dan
istrinyalah yang telah membesarkan Musa, maka Musalah yang seharusnya mema-tuhi
mereka. Apalagi, Musa telah membunuh seorang Mesir. Semua tin-dakan ini
diganjar dengan hukuman berat menurut bangsa Mesir. Suasa-na emosional yang
coba diciptakan Fir’aun juga ditujukan untuk mempe-ngaruhi para pemimpin dari
rakyatnya, sehingga mereka pun menyetujui Fir’aun.
Di sisi lain, risalah agama kebenaran yang disampaikan
Musa mengurangi kekuasaan Fir'aun dan menurunkan derajatnya setingkat
orang-orang kebanyakan. Selanjutnya, akan terungkap bahwa ia bukan-lah tuhan
dan lebih jauh lagi, ia akan harus tunduk kepada Musa. Di samping itu, jika ia
membebaskan bani Israil, ia akan kehilangan banyak tenaga kerja penting dan
akan menimbulkan bahaya besar.
Karena semua itulah, Fir’aun tidak mau mendengarkan
Musa. Ia mencoba mempermainkannya dan berusaha mengubah pokok pembica-raan
dengan mengajukan pertanyaan yang tidak berarti. Ia sekaligus mencoba untuk
mencitrakan Musa dan Harun sebagai pembuat keonaran dan menuduh mereka
mempunyai motif-motif politik tertentu. Akhir-nya, baik Fir’aun maupun para
pemimpin kaum serta para pembesarnya, kecuali para tukang sihir, menolak Musa
dan Harun. Mereka menging-kari agama kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka.
Itulah sebabnya Allah pertama-tama mengirimkan berbagai bencana kepada mereka.
Bencana yang Menimpa Fir'aun dan Para Pembesarnya
Fir’aun dan para pembesarnya sangat terikat terhadap
politeisme dan keberhalaan, “agama leluhur mereka”, sehinga tidak terpikirkan
oleh mereka untuk meninggalkannya. Bahkan dua mukjizat Musa, tangannya yang
mengeluarkan sinar putih serta tongkatnya yang berubah menjadi ular, tidaklah
cukup untuk membuat mereka untuk berpaling dari takhyul mereka. Lebih-lebih
lagi, mereka mengungkapkan hal ini secara terbuka. Mereka berkata: ”Bagaimanapun
kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan
itu, maka kami sekali-kali tidak akan pernah beriman kepadamu”. (QS Al A’raaf,
7: 132).
Karena sikap mereka, Allah mengirimkan sejumlah
bencana kepada mereka sebagai “mukjizat tersendiri” untuk membuat mereka
merasa-kan azab di dunia, sebelum siksaan abadi di alam keabadian. Pertama-tama
mereka diberi masa kekeringan panjang dan paceklik. Berkaitan dengan ini dikatakan
dalam Al Quran: ”Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya
dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al A'raaf, 7: 130).
Sistem
pertanian Bangsa Mesir berbasis pada Sungai Nil dan karena itu, mereka tidak
terpengaruh oleh perubahan keadaan alam. Namun se-buah bencana yang tak terduga
menimpa mereka karena Fir’aun dan kalangan dekatnya yang sombong dan angkuh
terhadap Allah dan mengingkari Rasul-Nya. Kemungkinan besar, dengan berbagai
sebab, permukaan Sungai Nil menyusut secara mencolok dan saluran irigasi yang
berasal dari sungai tidak mampu mengalirkan air yang cukup untuk lahan
pertanian mereka. Panas yang menyengat menyebabkan tanaman pertanian mengering.
Dengan demikian, bencana menimpa Fir’aun dan lingkaran dekatnya dari arah yang
sama sekali tidak terduga, dari Sungai Nil yang mereka andalkan. Musim kemarau
yang berkepanjangan men-cemaskan hati Fir’aun yang sebelumnya biasa berkata
kepada kaumnya sebagai berikut: ”Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini
kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah
kamu tidak melihat(nya)?” (QS. Az-Zukhruf, 43: 51).
Namun,
bukannya memberi perhatian sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat tersebut, mereka
malahan menganggap semua kejadian ter-sebut karena kesialan yang dibawa oleh
Musa dan bani Israil. Mereka dikuasai oleh keyakinan seperti itu karena
kepercayaan takhyul dan agama leluhur mereka. Karenanya, mereka memilih untuk
menderita oleh bencana yang hebat. Namun, yang menimpa mereka tidaklah
ter-batas sampai di sini. Ini hanyalah permulaan. Selanjutnya, Allah
me-ngirimkan kepada mereka serangkaian bencana lain. Bencana-bencana ini
disebutkan sebagai berikut dalam Al Quran: :
“Maka Kami
kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti
yang jelas, tetapi mereka tetap menyom-bongkan diri dan mereka adalah kaum yang
berdosa”. (QS. Al A’raaf, 7: 133) !
Bencana-bencana yang dikirimkan Allah terhadap Fir’aun
dan orang-orang ingkar di sekitarnya disebutkan pula dalam Perjanjian Lama
seba-gaimana dalam Al Quran :
“Dan di seluruh tanah Mesir ada darah. (Keluaran, 7: 21)
Jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan
menu-lahi seluruh daerahmu dengan katak. Katak-katak akan mengeriap dalam
Sungai Nil, lalu naik dan masuk ke dalam istanamu dan ka-mar tidurmu, ya, dan
sampai ke dalam tempat tidurmu, ke dalam rumah pegawai-pegawaimu, dan rakyatmu,
bahkan ke dalam pem-bakaran rotimu serta ke dalam tempat adonanmu. (Keluaran,
8: 2-3)
Berfirmanlah Tuhan kepada Musa, “Katakanlah kepada
Harun: Ulurkanlah tongkatmu dan pukulkanlah itu ke debu tanah, maka debu itu
akan menjadi nyamuk di seluruh tanah Mesir.” (Keluaran, 8: 16)
Datanglah belalang meliputi seluruh tanah Mesir, dan
hinggap di seluruh daerah Mesir, sangat banyak; sebelum itu tidak pernah ada
belalang yang demikian banyaknya dan sesudah itu pun tidak akan terjadi lagi
yang demikian. (Keluaran, 10: 14)
Lalu berkatalah para ahli itu kepada Fir'aun: “Inilah
tangan Allah.” Tetapi hati Fir'aun berkeras, dan ia tidak mau mendengarkan
mereka seperti yang telah difirmankan Tuhan.” (Keluaran, 8: 19)
Bencana yang mengerikan terus menimpa Fir’aun dan para
pembe-sarnya. Beberapa dari bencana ini disebabkan oleh objek yang disembah
oleh orang-orang musyrik ini. Sebagai contoh, Sungai Nil dan katak mere-ka
keramatkan dan pertuhankan. Saat mereka mengharapkan petunjuk dan meminta
pertolongan dari “tuhan-tuhan” mereka, Allah menghu-kum mereka melalui
“tuhan-tuhan” itu sendiri, sehingga mereka dapat melihat kesalahan mereka dan
menerima ganjaran atas kesesatan yang mereka lakukan.
Menurut para penafsir Perjanjian Lama, yang dimaksud
dengan “da-rah” adalah perubahan Sungai Nil menjadi merah. Hal ini dijelaskan
seba-gai suatu perumpamaan bagi berubahnya Sungai Nil menjadi merah kental.
Menurut sebuah penafsiran, yang mengakibatkan warna merah adalah sejenis
bakteri.
Sungai Nil adalah sumber kehidupan utama bagi bangsa
Mesir. Keru-sakan apa pun yang terjadi pada sumber ini dapat berarti kematian
bagi seluruh Mesir. Jika bakteri telah menutupi seluruh permukaan Sungai Nil
sampai mengubahnya berwarna merah, setiap mahkluk hidup yang menggunakan air
tersebut akan terinfeksi oleh bakteri ini.
Penjelasan terbaru tentang penyebab merahnya warna air
telah me-nunjuk protozoa, zooplankton, ganggang (fitoplankton) air asin maupun
tawar, dan dinoflagellata sebagai kemungkinan besar. Semua jenis ini baik
tumbuhan, jamur, ataupun protozoa mengisap oksigen dari dalam air dan
menghasilkan racun yang berbahaya baik bagi ikan maupun katak.
Dengan mengutip peristiwa Eksodus dalam Kitab Injil,
Patricia A Tester dari National Marine Fisheries Service yang menulis dalam
Annals of the New York Academy of Science mencatat bahwa walau kurang dari 50
spesies, dari sekitar 5000 spesies fitoplankton yang dikenal, adalah be-racun,
namun spesies beracun tersebut dapat membahayakan kehidupan air. Dalam terbitan
yang sama, Ewen C.D. Todd dari Health Canada, dengan merujuk data sejarah dan
prasejarah, mengutip hampir dua lusin contoh dari fitoplankton tertentu yang
menyebabkan berbagai wabah penyakit di seluruh penjuru dunia. W.W. Carmichael
dan I.R. Falconer mendaftar penyakit-penyakit yang berkaitan dengan ganggang
biru-hijau yang hidup di air tawar. Joann M. Burkholder, ahli Ekologi perairan
dari North Carolina State University menyebutkan bahwa sejenis dinoflagellata,
Pfiesteria piscimorte (ditemukan di perairan muara), seperti ditunjukkan
namanya, dapat membunuh ikan .36
Di masa Fir’aun, rangkaian bencana seperti ini
tampaknya terjadi. Menurut skenario ini, ketika Sungai Nil tercemar, maka
ikan-ikan pun mati dan bangsa Mesir kehilangan salah satu sumber nutrisinya
yang sangat penting. Tanpa ikan pemangsa, maka katak-katak dapat berkem-bang
biak dengan sangat bebas di kolam-kolam dan di sungai Nil, sehing-ga melimpahi
sungai, kemudian menghindari lingkungan beracun dan membusuk dengan berpindah
ke daratan, hingga di sini mereka mati dan terurai bersama ikan-ikan. Sungai
Nil dan tanah yang berdekatan de-ngannya membusuk, dan airnya berbahaya untuk
diminum maupun digunakan untuk mandi. Terlebih lagi punahnya spesies katak
menye-babkan berbagai jenis serangga seperti caplak dan kutu ber-kembang biak
secara besar-besaran.
Akhirnya, bagaimanapun terjadinya bencana tersebut dan
apa pun dampak yang diakibatkannya, baik Fir’aun maupun kaumnya tetap tidak
berpaling kepada Allah dengan penuh perhatian, mereka malah tetap bertahan
dengan keangkuhannya.
Fir’aun dan para pembesarnya begitu hipokrit, sehingga
mereka me-ngira bahwa mereka dapat memperdayakan Musa dan juga, Allah. Ketika
hukuman yang mengerikan menimpa mereka, mereka segera memanggil Musa dan
memintanya untuk menyelamatkan mereka dari bencana tersebut:
“Dan ketika
ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata: Hai Musa,
mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu de-ngan (perantaraan) kenabian yang
diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan
azab itu daripada kami pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan
Bani Israil pergi bersamamu”. Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka
hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka pun
mengingkarinya.” (QS. Al A’raaf, 7: 134-135) !
Keluar dari Mesir
Allah menerangkan kepada Fir’aun dan para pembesarnya
melalui Musa apa yang seharusnya mereka perhatikan, lalu memberi peringatan
kepada mereka. Sebagai tanggapan, mereka menolak dan menuduh Mu-sa kesurupan
dan berdusta. Allah mempersiapkan akhir yang menghina-kan bagi mereka. Ia
mengungkapkan kepada Musa apa yang akan terjadi:
“Dan Kami
wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa
hamba-hamba-Ku (Bani Israil), kare-na sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli.”
Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota.
(Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan
kecil, dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang me-nimbulkan amarah kita,
dan sesungguhnya kita benar-benar golong-an yang selalu berjaga-jaga”. Maka
Kami keluarkan Fir’aun dan ka-umnya dari taman-taman dan mata air, dan (dari)
perbendaharaan dan kedudukan yang mulia, demikianlah halnya dan Kami
anuge-rahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Maka Fir’aun dan bala
tentaranya menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua
golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya
kita benar-benar akan tersusul”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 52-61) !
Dalam keadaan di mana bani Israil merasa terjebak, dan
orang-orang Fir’aun mengira bahwa mereka akan segera menangkap bani Israil,
Musa berkata, tanpa pernah kehilangan kepercayaan akan pertolongan Allah:
“Sekali-kali
tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62) !
Pada saat itu Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israel
dengan membelah lautan. Fir’aun dan orang-orangnya tenggelam di dalam air yang
menutup di atas kepala mereka setelah bani Israil menyeberang dengan selamat.
“Lalu Kami
wahyukan kepada Musa: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah
lautan itu dan tiap-tiap belahan ada-lah seperti gunung yang besar. Dan di
sanalah Kami dekatkan go-longan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan
orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain
itu Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang
besar (mukjizat) dan tetapi kebanyakan dari mere-ka tidak beriman. Dan
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.”
(QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63-68) !
Tongkat Musa memiliki mukjizat. Allah telah
mengubahnya menjadi ular dalam penyampaian wahyu yang pertama kepadanya, dan
kemu-dian tongkat ini pula yang berubah menjadi ular yang menelan ular-ular
jadi-jadian dari ahli sihir Fir'aun. Sekarang, Musa membelah lautan de-ngan
tongkat yang sama. Inilah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Musa.
Di
Manakah Peristiwa itu Terjadi,
di Pantai
Laut Tengah Mesir atau di Laut Merah?
Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat Musa
membelah la-utan. Karena tidak ada perincian tentang hal ini di dalam Al Quran,
kita tidak dapat meyakini ketepatan dari pandangan mana pun terhadapnya.
Beberapa sumber menunjukkan pantai Laut Tengah di Mesir sebagai tempat lautan
terbelah. Di dalam Ensiklopedia Judaica dikatakan:
Pendapat mayoritas dewasa ini mengidentifikasi Laut
Merah dalam Eksodus sebagai sebuah laguna di pantai Laut Tengah.37
David Ben Gurion menyatakan bahwa peristiwa tersebut
kemung-kinan terjadi dalam masa pemerintahan Ramses II, setelah kekalahan di
Kadesh. Dalam Kitab Keluaran pada Perjanjian Lama, dikatakan bahwa kejadiannya
adalah di Migdol dan Baal-Zephon yang terletak di sebelah utara delta. 38
Pandangan ini berdasarkan Perjanjian Lama. Dalam
terjemahan Kitab Keluaran dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa Fir’aun dan
orang-orangnya ditenggelamkan di Laut Merah. Namun menurut mereka yang
berpegang pada pandangan ini, kata yang diterjemahkan sebagai “Laut Merah (Red Sea)”
sebenarnya adalah “ Lautan Alang-Alang (Sea of Reeds)”. Kata ini dikenal
sebagai “Laut Merah” dalam berbagai sumber dan digu-nakan untuk lokasi
tersebut. Namun, “Lautan Alang-Alang” sebenarnya digunakan untuk merujuk kepada
pantai Laut Tengah di Mesir. Dalam Perjanjian Lama, ketika menyebutkan jalur
yang diambil oleh Musa dan para pengikutnya, kata Migdol dan Baal-Zephon
disebutkan, dan tempat-tempat ini terletak di utara Delta Nil, di pantai Mesir.
Sebagai implikasi-nya, Lautan Alang-Alang mendukung kemung-kinan bahwa kejadian
tersebut terjadi di pantai Mesir, karena di daerah ini, sesuai dengan namanya,
banyak tumbuh alang-alang berkat tanah lumpur delta.
Tenggelamnya Fir’aun dan Orang-orangnya di Lautan
Al Quran mewartakan kepada kita tentang aspek-aspek
terpenting dari peristiwa terbelahnya Laut Merah. Menurut penuturan Al Quran,
Musa berangkat meninggalkan Mesir bersama Bani Israil yang mema-tuhinya. Namun
Fir’aun tidak dapat menerima kepergian mereka yang tanpa seizinnya. Ia dan
tentaranya mengikuti mereka “dalam amarah dan dendam” (QS. Yunus, 10: 90).
Begitu Musa dan Bani Israil mencapai pan-tai, Fir'aun dan bala tentaranya telah
menyusul mereka. Beberapa orang Bani Israil yang melihat ini mulai mengeluh
kepada Musa. Menurut Per-janjian Lama mereka berkata kepada Musa: ”Mengapa kamu
membawa kami pergi dari negeri kami, di sana kami diperbudak namun dapat hidup,
sekarang kita akan mati”. Kelemahan komunitas ini juga disebutkan dalam Al
Quran dalam ayat berikut:
“Maka setelah
kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa:
”Sesungguhnya kita benar-benar akan ter-susul.” (QS Asy-Syu’araa’, 26: 61) !
Kenyataannya, ini bukanlah pertama maupun terakhir
kalinya Bani Israil menunjukkan perilaku sedemikian yang menunjukkan
ketidak-patuhan mereka. Kaum Musa sebelumnya pernah mengeluh kepadanya dengan
berkata:
“Kami telah
ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu
datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan
kamu khalifah di muka bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana
perbuatanmu.” (QS. Al A’raaf, 7: 129) !
Berlawanan dengan tingkah laku umatnya yang lemah,
Musa sangat percaya diri, karena ketinggian imannya kepada Allah. Semenjak awal
perjuangannya, Allah telah memberitahu ia bahwa pertolongan dan du-kungan-Nya
akan selalu bersama Musa:
“Janganlah kamu
berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat. Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah:
“Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil
bersama ka-mi dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah
datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan
keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.” (QS.
Thaahaa, 20: 46-47) !
Ketika pertama kali bertemu dengan tukang sihir
Fir’aun, Musa “me-rasa takut dalam hatinya” (QS. Thaahaa, 20: 67). Karena itu,
Allah pun mewahyukan kepada Musa untuk tidak takut; ”Janganlah kamu takut,
sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).” (QS. Thaahaa, 20: 68).
Dengan demikian, Musa dididik oleh Allah dan memperoleh kema-tangan penuh
terhadap jalan-Nya. Sehingga, ketika sebagian kaumnya merasa takut akan tertangkap,
ia berkata: ”Sekali-kali tidak akan tersu-sul; sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62)
Allah mewahyukan kepada Musa bahwa ia harus memukul
lautan dengan tongkatnya: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka,
ter-belahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
(QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63). Sebenarnya, pada saat Fir’aun melihat mukjizat
tersebut, seharusnya ia menyadari bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat
luar biasa, dan bahwa ia sedang melihat campur tangan ilahiah. Laut terbuka
bagi orang-orang yang ingin dihancurkan Fir’aun. Lebih jauh lagi, tidak ada
jaminan bahwa lautan tidak akan menutup kembali setelah mereka menyeberang.
Namun, ia dan bala tentaranya tetap mengejar Bani Israil ke dalam laut.
Kemungkinan besar, Fir’aun dan tentaranya telah kehilangan kemampuan untuk
berpikir sehat karena amarah dan kedengkian mereka, dan tidak mampu memahami
mukjizat dari keadaan tersebut.
Al Quran menggambarkan saat-saat terakhir Fir’aun
sebagai berikut:
“Dan Kami
memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka di-ikuti oleh Fir'aun dan
bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila
Fir'aun itu telah hampir tengge-lam berkatalah ia: ”Saya percaya bahwa tidak
ada Tuhan melain-kan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus, 10: 90) !
Kita dapat melihat mukjizat lain Nabi Musa dalam ayat
berikut:
“Musa berkata:
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah mem-beri kepada Fir’aun dan
pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya
Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan
kami, binasakanlah harta mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka
tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. Allah berfirman:
”Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah
kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti
jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yunus, 10: 88-89) !
Dapat dipahami dengan jelas dari ayat ini bahwa Musa
diberi tahu sebagai jawaban atas permintaannya bahwa Fir’aun akan percaya
kepada Allah pada saat ia menghadapi azab yang pedih. Fir’aun memang berkata
bahwa ia beriman kepada Allah ketika air mulai menenggelamkannya. Namun, sangat
jelas bahwa perilakunya tidak tulus dan palsu. Fir’aun kemungkinan besar
mengatakan ini untuk menyelamatkan diri dari kematian.
“Apakah sekarang
(kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan
kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuatan Kami.” (QS. Yunus, 10: 91-92) !
Kita juga diwartakan bahwa orang-orang Fir'aun,
sebagaimana Fir’aun sendiri, juga menerima bagian hukuman mereka. Karena bala
tentara Fir’aun adalah orang-orang yang “angkara murka dan penuh kebencian”
(QS. Yunus, 10: 91), “orang-orang yang berdosa” (QS. Al Qashash, 28: 8),
“berlaku salah” (QS. Al Qashash, 28: 40), dan “mengira bahwa mereka tidak akan
pernah kembali kepada Allah” (QS. Qashash, 28: 39) seperti halnya Fir’aun,
mereka pun patut menerima hukuman dari Allah. Maka Allah pun melemparkan
Fir'aun dan bala tentaranya ke dalam laut (QS. Al Qashash, 28: 40).
“Kemudian Allah
menghukum mereka, dan menenggelamkan mereka di laut karena mereka mendustakan dan
lalai akan ayat-ayat-Nya.” (QS. Al A’raaf, 7: 136) !
Allah menyebutkan dalam Al Quran semua yang terjadi
setelah ke-matian Fir'aun :
“Dan Kami
pusakakan kepada kaum yang ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan
bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah
perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan
kesabaran mereka, dan Kami hancurkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan
kaumnya dan apa yang telah dibangun oleh mereka.” (QS. Al A’raaf, 7: 137) !
Picture Text
Kepercayaan religius bangsa Mesir kebanyakan
berdasarkan kepada pengabdian terhadap tuhan-tuhan mereka. ”Perantara” antara
tuhan-tuhan ini dengan manusia adalah para pendeta yang merupakan bagian dari
para pemuka masyarakat. Karena berurusan dengan ilmu magis dan sihir, para
pendeta menjadi kelas penting yang digunakan oleh para fir’aun untuk menjaga
kepatuhan rakyatnya.
Orang-orang yang di-perbudak oleh Fir'aun. Khususnya
pada masa Kerajaan Baru, kaum minoritas yang hidup di negara tersebut dipaksa
bekerja dalam proyek konstruksi yang sangat berat, termasuk di antaranya Bani
Israel. Pada gambar atas, budak-budak yang tampak sedang bekerja dalam
pembangunan sebuah kuil kemungkinan besar adalah Bani Israil. Gambar bawah
menunjukkan berbagai persiapan teknis para budak, yang juga diperkirakan adalah
Bani Israil, sebelum bekerja di proyek pembangunan. Para budak sedang membuat
batu bata dengan membakar lumpur di dalam api dan mempersiapkan adukan semen.
Ramses II, yang diperkirakan banyak ahli sejarah
sebagai fir’aun yang disebutkan dalam Al Quran, tampak sedang membunuh beberapa
budak yang ia tangkap. Sebagaimana juga diungkapkan lukisan dinding ini, para
fir’un mencitrakan dan menggambarkan diri mereka sebagai pejuang-pejuang yang
perkasa. Mereka ditampilkan sebagai pahlawan-pahlawan tinggi berbahu lebar yang
mampu mengalahkan sejumlah orang sekaligus.
Atas: Karena menganggap diri mereka mahkluk suci, para
fir’aun berupaya untuk tampak lebih unggul dibanding orang-orang lain.
Kanan: Tawanan perang yang tertangkap oleh orang Mesir
tampak sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati mereka.
Ramses II tampak dalam kereta perangnya menghalau
sejumlah besar pasukan musuh. Seperti juga yang lainnya, ini merupakan skenario
khayalan yang digambar atas perintah Fir'aun.
Perang Kadesh. Dalam pertempuran antara Ramses dan
Hitties, dipalsukan dalam sejarah bangsa Mesir sebagai kemenangan Fir'aun yang
gilang gemilang. Padahal kenyataannya Fir'aun diselamatkan dari kematian pada
saat-saat terakhir dan ia dipaksa untuk melakukan perdamaian.
"Maka pada
hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami". (QS. Yunus, 10: 92) !
0 komentar:
Posting Komentar