Karya: Siti Sarwindawati W. Soot
(PD PII Kota Gorontalo)
Bidadari
tak selamanya ada di dalam mimpi,
Bidadari tak selamanya ada di langit,
Bidadari
tak selamnaya ada di surga,
Tapi,
bidadari itu juga ada di dunia.
Dalam kegelapan yang menyeliputi ketakutan.
Nampak sebuah cahaya yang datang menyapa. Cahaya itu datang dari seorang
muslimah yang sangat ingin dicintai Tuhannya. Wajahnya yang secerah cahaya,
matanya yang sebening embun, dan kulitnya yang seputih awan di langit serta
semulus kain sutera. Tidak hanya memiliki fisik yang elok tuk dilihat. Namun,
ia juga memiliki kepribadian yang tidak semua orang bisa memilikinya.
Kelembutan dan kebaikan hatinya serta sikap suka tolong-menolong yang
menjadikannya sebagai seorang muslimah yang banyak disegani oleh setiap orang
yang ada di dekatnya.
Muslimah itu bernama
Ridhayati Az-Zahra. Pemilik keindahan yang diberikan oleh Sang Pencipta
keindahan. Keindahan yang diberikan kepadanya tak membuat dirinya tinggi hati.
Ia hanya mensyukurinya dan membuat keindahan itu berguna untuk dirinya dan orang
lain.
Siang itu, Mentari
mulai memperlihatkan keelokannya. Di pinggir lautan yang luas ditemani ombak
yang bertasbih memuji Sang Pencipta. Terlihat beberapa rumah kecil yang
berjejeran di atas pasir putih dan di depan Ombak yang sedang asik berkejar-kejaran.
Di bawah lindungan rumah kecil itu, nampak dua orang sahabat yang sedang
mengagumi keindahan pantai. Kerudung yang panjang menghiasi mereka berdua.
“Subhanallah, keindahan
pantai ini membuat kedamaian dalam kalbuku. Seperti sedang mendengarkan lantunan
ayat-ayat suci dari Sang Pemilik keindahan.” Ujar Warda, sahabat Zahra.
“Iya, War. Subhanallah,
semua ini sudah disiapkan oleh Sang Pencipta untuk para penghuni bumi. Sungguh
mulia Sang Pencipta yang menciptakan makhluknya dengan sedemikian rupa.” Ujar
Zahra kepada Warda yang juga memuji keindahan dari Sang Pencipta keindahan.
Ketika keduanya sedang
mengagumi keindahan dari Sang Pencipta. Tiba-tiba terdengar suara dari arah
belakang Zahra dan Warda. “Subhanallah,
bukan hanya manusia yang senang memuji Sang Pencipta. Tapi ombak, gunung,
lautan, dan semua yang ada di bumi ini senang bertasbih dan memuji Sang
Pencipta. Namun, sayang beribu sayang sebagian dari manusia yang tak dapat
menyadari keindahan ini. Mereka tak pernah memuji Sang Pemilik Keindahan.”
Ternyata suara itu adalah suara Humaira, sahabat mereka.
Dari dua menjadi tiga.
Ketiga-tiganya saling menyapa. Mereka pun duduk kembali di bawah lindungan
rumah kecil itu. Mereka sangat bahagia menikmati suasana di pantai itu.
Senyuman manis terpancar di wajah mereka. Canda dan tawa turut menghiasi wajah
mereka. Sungguh suasana yang sangat indah dan menyenangkan.
Suara langit telah
terdengar dan memanggil setiap insan untuk segera menjalankan sebuah kewajiban.
Ketiganya pun segera menghampiri mesjid yang tak jauh dari pantai. Mereka
segera menggambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Kewajiban telah
dilaksanakan. Selanjutnya mereka melaksanakan sunah rasul yaitu membaca
ayat-ayat suci dari Sang Pencipta.
Mentari yang tadinya
memperlihatkan keelokanya mulai lelah. Awan yang baik pun telah menutupi
kelelahan mentari. Suasana yang di penuhi kebahagiaan telah pergi. Mereka
bertiga melanjutkan aktivitasnya masing-masing.
“Humaira dan Warda. Aku
pulang dulu, yah.” Ujar Zahra sambil memengang kedua tangan sahabatnya.
“ Iya. Kami juga ingin
pulang. Hati-hati yah.” Jawab Humaira dan Warda.
“Assalamualaikum para
penghuni yang dirindukan surga” Salam perpisahan dari Zahra dengan senyuman
tipis di wajah indahnya.
“Waalaikumsalam,
bidadari yang nyasar di bumi” Jawab Humaira dan Warda sambil tertawa.
Di tengah perjalan
menuju ke rumah. Zahra melihat seorang wanita yang sedang dikerumuni warga. Ia
terus memperhatikan wanita itu. Wanita yang memperlihatkan rambut emasnya. Tak
lama kemudian keributan terjadi. Wanita berambut emas telah dipukuli warga.
Zahra yang tidak ingin melihat kekerasan terhadap wanita. Tanpa berpikir
panjang lagi segera menghampiri wanita itu dan mendamaikan susana pada saat
itu.
“Maaf, ada apa ini? Apa
yang terjadi? Masalah itu bisa dipecahkan dengan kepala dingin. Apa yang kalian
lakukan pada wanita ini. Apakah agama kita mengajari hal seperti ini.
Seburuk-buruknya kesalahan yang ia lakukan, tapi apakah kalian harus
memukulinya seperti ini. Dia ini hanyalah makhluk yang tak pernah luput dari khilaf
dan kesalahan.” Ujar Zahra dengan air mata yang berlinang dengan suara yang
tegas.
Salah satu dari mereka
berkata,
“Wanita ini telah
melakukan zina di tempat ini. Kami tidak bisa membiarkan hal itu terus-menerus
terjadi.” Jawab seorang ibu yang sedang berusaha meredahkan emosinya.
“Masya Allah. Apakah
benar yang dikatakan ibu itu? Jika benar perkataan ibu itu maka sebaiknya kamu
mohon ampun kepada Allah dan minta maaflah kepada warga. Sungguh Allah akan
melaknat perbutan orang yang berzina.” Ujar Zahra sambil memeluk wanita
berambut emas itu.
Dengan mengeluarkan
kata-kata yang meyakinkan para warga, akhirnya Zahra berhasil memecahkan
masalah itu. Warga yang tadinya berkumpul telah kembali beraktifitas seperti
biasa. Wanita berambut emas itu terus-menerus mengeluarkan butiran kalbunya.
Mutiara kalbu terus mengalir di wajahnya. Zahra kembali menenangkan wanita itu.
Kemudian wanita itu dengan perlahan memeluk Zahra dan berkata,
“Aku ini manusia yang
hina. Jika aku bersungguh-sungguh bertaubat kepadaNya, apakah Allah akan
mengampuni dosaku?
Dengan uarain mutiara
kalbu, Zahra menjawabnya dengan tenang.
“Allah itu beda dengan
kita, Allah dapat memaafkan kesalahan hambaNya jika ia memang benar-benar
bertaubat. Allah itu sungguh baik. Insya Allah jika kamu benar-benar bertaubat
kepada Allah maka insya Allah dosamu akan diampuni.”
Mendangar jawaban dari
Zahra, wanita berambut emas itu berhenti menangis dan berkata,
“Apakah kamu bersedia
membantuku. Aku ingin bertaubat. Aku ingin melakukan apa pun agar Allah memaafkan
dosa-dosa yang pernah ku lakukan.”
Dengan hati yang
berbunga-bunga dan suasana yang haru Zahra berkata,
“Alhamdulillah. Dengan
senang hati aku akan membantumu. Selagi itu untuk kebaikan tak kan ada yang
bisa menghalangiku sekali pun itu badai yang menerpaku akan ku lawan badai itu.
Oh, yah. Aku Ridhayati Az-Zahra. Sahabatku biasanya memanggilku dengan sebutan
Zahra. Siapa namamu?”
“Aku, Zuhratun Warda.
Panggil saja aku Atun. Terima kasih kamu telah membantuku.” Jawab wanita
berambut emas itu dengan senyuman tipis sambil memegang erat tangan Zahra.
“Aku hanya menjalankan tugas
yang seharusnya dilakukan seorang hamba. Di mana rumahmu?” Tanya Zahra.
“Sungguh baik hatimu.
Aku tak punya rumah lagi. Aku telah diusir dari rumah. Orang tuaku telah tiada
ketika usiaku masih dini. Aku tinggal bersama paman dan bibi. Mereka sudah tak
ingin mengurusku.” Jawab wanita berambut emas itu dengan mata yang
berkaca-kaca.
Agar tidak terbawa
susana Zahra memberikan senyuman tipis kepada Atun. Zahra mengajak Atun tinggal
bersamanya. Orang tua Zahra setuju dengan keputusan Zahra.
Rumah sederhana
dipenuhi warna-warni bunga yang sedang bermekaran dan pemandangan yang indah
serta suasana yang damai terpancar dari rumah Zahra. Rumah yang bagaikan surga,
rumah yang memberikan kenyamanan, rumah yang diimpikan oleh semua orang. Rumah
itu menyabut Atun dengan kebahagiaan. Kehidupan di dalam rumah itu telah
membuatnya menjadi seorang muslimah.
Waktu tak kan selamanya
diam, waktu akan terus maju. Begitulah dengan kehidupan. Kehidupan tak
selamanya buruk, kehidupan akan berubah dengan seiringnya waktu. Atun yang
memiliki kehidupan yang buruk kini telah menjadi wanita soleha yang taat
beribadah kepada Allah. Rambut emasnya telah tertutupi dengan kerudung panjang
dan auratnya telah tertutupi dengan syar’i. Melihat keadaan Atun, Zahra dan
orang tuanya merasa senang. Orang tuanya sangat bangga memiliki anak seperti
Zahra.
Butiran langit yang
telah berhenti telah menampakan warna-warni langit. Pelangi telah menyebarkan
keindahannya kepada dunia, memberikan senyuman terindah untuk para penghuni
bumi. Zahra dan Atun duduk di antara bunga-bunga yang bermekaran dan ditemani
oleh pelagi. Mereka sedang menikmati keindahan dunia. Dunia yang penuh dengan
cobaan dan rintangan. Dunia yang menentukan kehidupan kita selanjutnya dan hanya
orang-orang yang sabar menghadapi dunia dengan sejuta senyuman serta tindakan
yang sesuai ketentuan dari Sang Pencipta yang dapat menikmati indahnya
kehidupan yang sebenarnya. Ketika itu di dalam hati Atun berkata,
“Ya
Allah, terima kasih Engkau telah kirimkan bidadari dalam hidupku. Sekarang aku
lebih bahagia dan dapat mengenalMu dengan dekat. Bidadari dunia terima kasih
atas ketulusanmu dalam mengajariku untuk mengenal Tuhanku. Bidadari dunia aku iri
kepadamu, mungkin hal ini juga dirasakan oleh bidadari surga. Bidadari dunia,
kau sungguh cantik luar dan dalam. Ya Allah andaikan aku jadi bidadari dunia
seperti Ridhayati Az-Zahra. Akan ku jadikan dunia ini seperti surga, dan akan
ku jadikan diriku ini sebagai kupu-kupu yang terbelenggu dalam kepompong dan
ketika menjadi kupu-kupu akan ku sebarkan keindahan kepada dunia agar dunia
dapat merasakan nikmatnya ciptaan dari Tuhan. Ridhayati Az-Zahra, aku berharap
kamu akan selalu menjadi bidadari dunia. Kencatikanmu secantik budi pekertimu.
Kamulah bidadari dunia yang pernah ku kenal.”
***Sekian***
0 komentar:
Posting Komentar