Minggu, 21 Juni 2015

Cerpen; ADA DI BIDADARI DUNIA






Karya: Siti Sarwindawati W. Soot
(PD PII Kota Gorontalo) 
Bidadari tak selamanya ada di dalam mimpi,
Bidadari  tak selamanya ada di langit,
Bidadari tak selamnaya ada di surga,
Tapi, bidadari itu juga ada di dunia.
 Dalam kegelapan yang menyeliputi ketakutan. Nampak sebuah cahaya yang datang menyapa. Cahaya itu datang dari seorang muslimah yang sangat ingin dicintai Tuhannya. Wajahnya yang secerah cahaya, matanya yang sebening embun, dan kulitnya yang seputih awan di langit serta semulus kain sutera. Tidak hanya memiliki fisik yang elok tuk dilihat. Namun, ia juga memiliki kepribadian yang tidak semua orang bisa memilikinya. Kelembutan dan kebaikan hatinya serta sikap suka tolong-menolong yang menjadikannya sebagai seorang muslimah yang banyak disegani oleh setiap orang yang ada di dekatnya.
Muslimah itu bernama Ridhayati Az-Zahra. Pemilik keindahan yang diberikan oleh Sang Pencipta keindahan. Keindahan yang diberikan kepadanya tak membuat dirinya tinggi hati. Ia hanya mensyukurinya dan membuat keindahan itu berguna untuk dirinya dan orang lain.
Siang itu, Mentari mulai memperlihatkan keelokannya. Di pinggir lautan yang luas ditemani ombak yang bertasbih memuji Sang Pencipta. Terlihat beberapa rumah kecil yang berjejeran di atas pasir putih dan di depan Ombak yang sedang asik berkejar-kejaran. Di bawah lindungan rumah kecil itu, nampak dua orang sahabat yang sedang mengagumi keindahan pantai. Kerudung yang panjang menghiasi mereka berdua.
“Subhanallah, keindahan pantai ini membuat kedamaian dalam kalbuku. Seperti sedang mendengarkan lantunan ayat-ayat suci dari Sang Pemilik keindahan.” Ujar Warda, sahabat Zahra.
“Iya, War. Subhanallah, semua ini sudah disiapkan oleh Sang Pencipta untuk para penghuni bumi. Sungguh mulia Sang Pencipta yang menciptakan makhluknya dengan sedemikian rupa.” Ujar Zahra kepada Warda yang juga memuji keindahan dari Sang Pencipta keindahan.
Ketika keduanya sedang mengagumi keindahan dari Sang Pencipta. Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Zahra dan Warda. “Subhanallah, bukan hanya manusia yang senang memuji Sang Pencipta. Tapi ombak, gunung, lautan, dan semua yang ada di bumi ini senang bertasbih dan memuji Sang Pencipta. Namun, sayang beribu sayang sebagian dari manusia yang tak dapat menyadari keindahan ini. Mereka tak pernah memuji Sang Pemilik Keindahan.” Ternyata suara itu adalah suara Humaira, sahabat mereka.
Dari dua menjadi tiga. Ketiga-tiganya saling menyapa. Mereka pun duduk kembali di bawah lindungan rumah kecil itu. Mereka sangat bahagia menikmati suasana di pantai itu. Senyuman manis terpancar di wajah mereka. Canda dan tawa turut menghiasi wajah mereka. Sungguh suasana yang sangat indah dan menyenangkan.
Suara langit telah terdengar dan memanggil setiap insan untuk segera menjalankan sebuah kewajiban. Ketiganya pun segera menghampiri mesjid yang tak jauh dari pantai. Mereka segera menggambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Kewajiban telah dilaksanakan. Selanjutnya mereka melaksanakan sunah rasul yaitu membaca ayat-ayat suci dari Sang Pencipta.
Mentari yang tadinya memperlihatkan keelokanya mulai lelah. Awan yang baik pun telah menutupi kelelahan mentari. Suasana yang di penuhi kebahagiaan telah pergi. Mereka bertiga melanjutkan aktivitasnya masing-masing.
“Humaira dan Warda. Aku pulang dulu, yah.” Ujar Zahra sambil memengang kedua tangan sahabatnya.
“ Iya. Kami juga ingin pulang. Hati-hati yah.” Jawab Humaira dan Warda.
“Assalamualaikum para penghuni yang dirindukan surga” Salam perpisahan dari Zahra dengan senyuman tipis di wajah indahnya.
“Waalaikumsalam, bidadari yang nyasar di bumi” Jawab Humaira dan Warda sambil tertawa.
Di tengah perjalan menuju ke rumah. Zahra melihat seorang wanita yang sedang dikerumuni warga. Ia terus memperhatikan wanita itu. Wanita yang memperlihatkan rambut emasnya. Tak lama kemudian keributan terjadi. Wanita berambut emas telah dipukuli warga. Zahra yang tidak ingin melihat kekerasan terhadap wanita. Tanpa berpikir panjang lagi segera menghampiri wanita itu dan mendamaikan susana pada saat itu.
“Maaf, ada apa ini? Apa yang terjadi? Masalah itu bisa dipecahkan dengan kepala dingin. Apa yang kalian lakukan pada wanita ini. Apakah agama kita mengajari hal seperti ini. Seburuk-buruknya kesalahan yang ia lakukan, tapi apakah kalian harus memukulinya seperti ini. Dia ini hanyalah makhluk yang tak pernah luput dari khilaf dan kesalahan.” Ujar Zahra dengan air mata yang berlinang dengan suara yang tegas.
Salah satu dari mereka berkata,
“Wanita ini telah melakukan zina di tempat ini. Kami tidak bisa membiarkan hal itu terus-menerus terjadi.” Jawab seorang ibu yang sedang berusaha meredahkan emosinya.
“Masya Allah. Apakah benar yang dikatakan ibu itu? Jika benar perkataan ibu itu maka sebaiknya kamu mohon ampun kepada Allah dan minta maaflah kepada warga. Sungguh Allah akan melaknat perbutan orang yang berzina.” Ujar Zahra sambil memeluk wanita berambut emas itu.
Dengan mengeluarkan kata-kata yang meyakinkan para warga, akhirnya Zahra berhasil memecahkan masalah itu. Warga yang tadinya berkumpul telah kembali beraktifitas seperti biasa. Wanita berambut emas itu terus-menerus mengeluarkan butiran kalbunya. Mutiara kalbu terus mengalir di wajahnya. Zahra kembali menenangkan wanita itu. Kemudian wanita itu dengan perlahan memeluk Zahra dan berkata,
“Aku ini manusia yang hina. Jika aku bersungguh-sungguh bertaubat kepadaNya, apakah Allah akan mengampuni dosaku?
Dengan uarain mutiara kalbu, Zahra menjawabnya dengan tenang.
“Allah itu beda dengan kita, Allah dapat memaafkan kesalahan hambaNya jika ia memang benar-benar bertaubat. Allah itu sungguh baik. Insya Allah jika kamu benar-benar bertaubat kepada Allah maka insya Allah dosamu akan diampuni.”
Mendangar jawaban dari Zahra, wanita berambut emas itu berhenti menangis dan berkata,
“Apakah kamu bersedia membantuku. Aku ingin bertaubat. Aku ingin melakukan apa pun agar Allah memaafkan dosa-dosa yang pernah ku lakukan.”
Dengan hati yang berbunga-bunga dan suasana yang haru Zahra berkata,
“Alhamdulillah. Dengan senang hati aku akan membantumu. Selagi itu untuk kebaikan tak kan ada yang bisa menghalangiku sekali pun itu badai yang menerpaku akan ku lawan badai itu. Oh, yah. Aku Ridhayati Az-Zahra. Sahabatku biasanya memanggilku dengan sebutan Zahra. Siapa namamu?”
“Aku, Zuhratun Warda. Panggil saja aku Atun. Terima kasih kamu telah membantuku.” Jawab wanita berambut emas itu dengan senyuman tipis sambil memegang erat tangan Zahra.
“Aku hanya menjalankan tugas yang seharusnya dilakukan seorang hamba. Di mana rumahmu?” Tanya Zahra.
“Sungguh baik hatimu. Aku tak punya rumah lagi. Aku telah diusir dari rumah. Orang tuaku telah tiada ketika usiaku masih dini. Aku tinggal bersama paman dan bibi. Mereka sudah tak ingin mengurusku.” Jawab wanita berambut emas itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Agar tidak terbawa susana Zahra memberikan senyuman tipis kepada Atun. Zahra mengajak Atun tinggal bersamanya. Orang tua Zahra setuju dengan keputusan Zahra.
Rumah sederhana dipenuhi warna-warni bunga yang sedang bermekaran dan pemandangan yang indah serta suasana yang damai terpancar dari rumah Zahra. Rumah yang bagaikan surga, rumah yang memberikan kenyamanan, rumah yang diimpikan oleh semua orang. Rumah itu menyabut Atun dengan kebahagiaan. Kehidupan di dalam rumah itu telah membuatnya menjadi seorang muslimah.
Waktu tak kan selamanya diam, waktu akan terus maju. Begitulah dengan kehidupan. Kehidupan tak selamanya buruk, kehidupan akan berubah dengan seiringnya waktu. Atun yang memiliki kehidupan yang buruk kini telah menjadi wanita soleha yang taat beribadah kepada Allah. Rambut emasnya telah tertutupi dengan kerudung panjang dan auratnya telah tertutupi dengan syar’i. Melihat keadaan Atun, Zahra dan orang tuanya merasa senang. Orang tuanya sangat bangga memiliki anak seperti Zahra.
Butiran langit yang telah berhenti telah menampakan warna-warni langit. Pelangi telah menyebarkan keindahannya kepada dunia, memberikan senyuman terindah untuk para penghuni bumi. Zahra dan Atun duduk di antara bunga-bunga yang bermekaran dan ditemani oleh pelagi. Mereka sedang menikmati keindahan dunia. Dunia yang penuh dengan cobaan dan rintangan. Dunia yang menentukan kehidupan kita selanjutnya dan hanya orang-orang yang sabar menghadapi dunia dengan sejuta senyuman serta tindakan yang sesuai ketentuan dari Sang Pencipta yang dapat menikmati indahnya kehidupan yang sebenarnya. Ketika itu di dalam hati Atun berkata,
“Ya Allah, terima kasih Engkau telah kirimkan bidadari dalam hidupku. Sekarang aku lebih bahagia dan dapat mengenalMu dengan dekat. Bidadari dunia terima kasih atas ketulusanmu dalam mengajariku untuk mengenal Tuhanku. Bidadari dunia aku iri kepadamu, mungkin hal ini juga dirasakan oleh bidadari surga. Bidadari dunia, kau sungguh cantik luar dan dalam. Ya Allah andaikan aku jadi bidadari dunia seperti Ridhayati Az-Zahra. Akan ku jadikan dunia ini seperti surga, dan akan ku jadikan diriku ini sebagai kupu-kupu yang terbelenggu dalam kepompong dan ketika menjadi kupu-kupu akan ku sebarkan keindahan kepada dunia agar dunia dapat merasakan nikmatnya ciptaan dari Tuhan. Ridhayati Az-Zahra, aku berharap kamu akan selalu menjadi bidadari dunia. Kencatikanmu secantik budi pekertimu. Kamulah bidadari dunia yang pernah ku kenal.”


***Sekian***

0 komentar:

Posting Komentar