Minggu, 21 Juni 2015

Cerpen; KERTAS PUTIH MILIK SITA


Karya: Siti Sarwindawati W. Soot
(PD PII Kota Gorontalo)
Untaian kata tertulis dalam kertas putih. Mengisi kekosongan  di antara garis-garis hitam.  Melalui tinta-tinta ilmiah. Belajar, menulis, serta memahami apa yang tertulis dalam kertas putih tersebut. Itulah aktifitas keseharian yang dilakukan oleh seorang  mahasiswi  universitas ternama di Indonesia.
Ketika para dosen belum memperlihatkan roman mukanya. Maka keramaian akan  menjadi musik alami dalam ruangan itu. Lalu, setiap pembirama akan  memperlihatkan keelokannya dalam menanggapi kejenuhan. Semua pembirama asik dengan gerakan musiknya. Tapi, anehnya terlihat satu pembirama yang duduk diam sambil menggoyangkan penanya di atas kertas putih.
” Sita , apa yang kamu lakukan ?” tanya dewi.
“Aku sedang menulis” jawab sita dengan singkat.
Dewi terdiam dalam kebingungan. Ia penasaran dengan tulisan yang ada dalam kertas putih sita. Ia mendekati sita dan mencoba mencari tahu isi kertas putih itu. Sita mengatahui tujuan dewi.
“Dew, maaf. Kali ini aku tak bisa memperlihatkannya kepadamu.” Kata sita dengan suara lembut.
“Yah! aku mengerti, sit. Maaf jika aku mengganggumu.”  sahut dewi dengan senyuman tipis.
Dewi pun menjauh dari pandangan sita. Namun, dalam hatinya masih terselip segelitik rasa penasaran. Dewi berdiri di depan jemari besi menghadapkan wajahnya ke arah sawah yang tak jauh dari gedung kampus. Ia menghembuskan nafas seakan-akan melepaskan segala pemikiran yang ada dalam benaknya.
Sedangkan, sita sedang duduk diam melanjutkan goyangan penahnya di atas kertas putih. Entah apa yang ia rasakan. Tiba-tiba, butiran kalbu jatuh membasahi pipinya. Tak seorang pun yang mengehatui kejadian itu. Sita tak ingin seorang pun tahu jika ia sedang menangis. Ia pun segera menghilangkan butiran kalbunya. Namun, sisa kalbu itu berbekas di kelopak matanya. Matanya bengkak, hidungnya merah dan tubuhnya lemah.
Dari keramaian menjadi keheningan. Dosen yang baru tiba memberikan materinya. Goyangan pena sita terhenti. Dan memfokuskan dirinya kepada pemateri. Teman-temannya pun terdiam dan mengikuti proses perkuliahan. Ketentram, kedamain, dan keseriusan terpancar dalam ruangan itu. Dosen yang sangat bijak menyalurkan ilmunya kepada mahasiswa dengan beragam cara. Dan mahasiswa seharusnya menyerap ilmu itu dengan caranya sendiri. Waktu terus berputar, detik menjadi menit dan menit menjadi jam. Diakhir-akhir pertemuan selalu saja ada tugas yang diberikan. MAKALAH itulah tugas atau makanan sehari-harinya mahasiswa.
Jam perkuliahan telah berakhir, keramaian terdengar lagi. Sita dan teman-temannya segera meninggalkan ruangan. Dewi menghampiri sita.“Sit, kita jalan bareng yuk ?” memegang tangan sita sambil berjalan. Sita dan dewi menuju taman dekat kampus. Duduk di taman merupakan kesenangan tersendiri bagi mereka. Dari kejauhan terdengar suara yang memanggil nama dewi. Suara itu berasal dari gedung yang berada di depan taman. Ternyata suara itu adalah suara rika, teman dewi yang berbeda jurusan. Rika menghampiri dewi.
“Dewi….boleh gabung ?” tanya rika dengan kebercandaan.
“Jangan,,,, jangan ragu-ragu” dewi membalas kebercandaan rika.
Rika duduk di samping dewi. Tak kenal maka tak taaruf, dewi memperkenalkan rika kepada sita. Ketiga mahasiswi itu melanjutkan ujaran kata yang sempat terhenti. Padahal, baru saja kenalan tapi sita dan rika sudah terlihat akrab seperti teman lama yang bertemu kembali. Setelah beberapa menit kemudian seorang mahasiswa datang menyampaikan pemberitahuan bahwa sita dan dewi harus segera masuk ke ruangan.
“Rik, maaf. Kami harus kembali ke ruangan.“ dewi memegang tangan rika dan sita memeluk rika. Menandakan salam perpisahan di antara ketiganya. Mereka segera melangkahkan kaki, menjauhi rika yang sedang duduk di taman seorang diri. Langkah kaki mereka begitu cepat. Lantai dua adalah ruangan mereka. Tangga yang mereka naiki seperti datar tak bertingkat. Arah pandang mereka selalu ke depan. Ruang kelas telah terlihat. Mereka segera masuk.
“Aduh ! capek sekali” dengan nafas yang tidak teratur mereke segera duduk. Beruntunglah dosen belum datang. Dua menit setelah duduk nampak roman muka seorang lelaki tua berkacamata datang dengan membawa buku. Proses perkuliahan telah berjalan. Di samping menerima materi, dewi memperhatikan sita yang sedang membuka kembali kertas putihnya. Dosen menjelaskan materinya, sementara dewi terus-menerus memperhatikan sita. Rasa penasaran. Itulah yang selalu dirasakan dewi. Tak terasa jam perkuliahan telah selesai. Semua mahasiswa kembali ke rumahnya masing-masing. Rumah sita sangat jauh dari kampus. Bertepatan rumah dewi searah dengan sita, mereka selalu pulang bersama. Persahabatan mereka menjadikan mereka seperti saudara sejati. Saling melengkapi satu sama lain, berbagi suka-duka bersama dan bergotong royong.
Putaran roda tiga semakin melaju. Keduanya sampai ke rumahnya dengan selamat. Kelelahn yang dirasakan tak menguras semangat sita untuk membantu pekerjaan ibunya. Ia adalah anak yang soleha dan berbakti kepada orang tua. Kehidupannya sangat sederhana, tapi ia tak pernah mengeluh sedikitpun. Peribahasa mengatakan “Biar badan penat, asalkan hati senang’.Ia sangat antusias jika melihat orang yang sedang mendapat kesushan. Meskipun ia sendiri susah, namun jika ia masih sanggup membantunya. Maka ia tak segan-segan membantunya. Perkuliahan merupakan salah satu usaha untuk membahagiakan kedua belahan jiwanya. Kegigihan yang ia lakukan tak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan pengorbanan belahan jiwanya. Prinsip itulah yang selalu dipegangnya setiap melangkahkan kaki.
Mentari berganti menjadi rembulan. Keramaian berubah menjadi keheningan. Suara langit telah terdengar di pelosok dunia. Setelah menyelesaikan sholat dan tadarus al-qur’an, sita duduk membentangkan kertas putihnya. Lalu, menggoyangkan kembali penanya. Tak lama kemudian, terdengar suara ibu yang memanggil sita.
“Nak, ayo makan. Ibu sudah siapin makanan kesukaanmu”
“Iya, bu.” Sita menutup kertas putihnya.
Ruangan itu dipenuhi dengan  beragam aroma masakan kuliner khas ibu sita. Tradisi pun dilaksanakan, sebelum makan ayah memimpin doa. Setelah itu, mereka melahap dengan nikmat hidangan yang telah tersajikan. Melahap dengan perlahan, kampung tengah sudah berkata cukup. Kembali ke kamar, sita melanjutkannya aktifatasnya hingga terlelap.
Adzan subuh telah berkumandang, sita segera mengambil air wudhu. Bertawakal kepada sang pencipta telah selesai ia lakukan. Ia melangkah menuju dunia kampus. Banyak cobaan silih berganti menimpa dirinya. Kesabaran menjadi obat dalam cobaan itu. Sita berdiri tegak dalam kebenaran. Menjadi kesalahan terbesar jika ia melanggar ketentuan sang pencipta. Seseorang menegurnya karena sita tidak ingin memperdengarkan suara teriakan dari mulutnya. Ia tahu sebagian orang belum memahami syariat agama. Ia menghargai pendapat maupun tindakan orang lain. Ia juga tahu paham sekularisme telah dilakukan oleh orang tersebut. Namun, ia akan mendiamkan hal tersebut.
Hari-hari telah ia jalani dengan bumbu-bumbu ketulusan dan keikhlasan hati. Banyak pengalaman serta pengetahuan yang sita ketahui. Perjalanan sita tak semulus jalanan yang dilapisi aspal. Batu-batuan yang menjadi rintangan hidupannya. Kertas putih menjadi teman hidupnya.
Dunia hanya untuk sementara. Pintu akhirat sedang menunggu. Pohon besar yang rimbun akan dedaunan tertuliskan nama-nama makhluk yang akan menjadi penghuni akhirat. Daun yang jatuh akan menjadi penghuni akhirat. Sutradara terbaik yang tak tertandingi ialah pemilik jagad raya, pencipta alam semesta. Adjal manusia tak seorang pun mengetahuinya.
Sita menghebuskan napas terakhirnya dalam sujudnya. Wajahnya bersinar, senyuman tipis terlintas di wajahnya. Dewi teman dekat sita, tak percaya dengan kejadian itu. Saat itu, sita dan dewi duduk di taman. Tiba-tiba, sita memberikan kertas putihnya kepada dewi. Keanehan terjadi pada saat itu. Sejenak dalam hati dewi berkata “Mengapa sita memberikan kertas putihnya, bukannya sita tidak ingin aku mengetahui tulisan yang ada dalam kertas putih ini. Mungkinkah ini sudah saatnya ia memberikan kertas putih ini.” Sita memeluk dewi seakan-akan mereka akan berpisah. Dewi semakin heran.
Mentari semakin memperlihatkan keelokanya, keringat membasahi wajah dewi. Tapi, sita tak berkeringat bahkan terlihat kesejukan di wajahnya. Suara adzan dzuhur telah berkumandang, sita dan dewi bergegas meninggalkan taman. Lalu, menuju mushola dekat kampus. Sholat yang dilakukan sita berbeda dengan sholat biasanya. Sita bersholat dengan sangat khusyu, dan sempat meneteskan air mata. Dewi telah menyelesaikan sholatnya. Ia menunggu sita yang sedang bersholat. Ia memperhatikan sita. Di sujud terakhir sita, dewi mendengar suara indah seseorang yang memanggil nama sita. Dewi terkaget dan mencari sumber suara itu. “Mungkin itu hanya halusinasiku.” Duduk kembali dan menunggu sita. Dewi memperhatikan sita yang sudah lama bersujud. Dewi semakin heran. Tapi, ia belum bertindak, ia hanya memperhatikan sita. Melihat kondisi yang terus menerus seperti itu hingga memakan waktu yang cukup lama. Dewi menghampiri sita. Memegang bahu sita dengan pelan. Badan sita terjatuh baring di sajadahnya. Dewi terkaget dan langsung membangunkan sita. Ia memegang urat nadi sita sudah tak berdenyut lagi. Tangisan dewi membuat penghuni kampus berbondong-bondong datang menghampirinya. Suasana kampus menjadi haru. Tangisan terdengar di mana-mana. Sita di pulangkan ke rumahnya. Orang tuanya tak menyangka anaknya telah tiada. Mereka orang yang kuat akan segala cobaan. Mereka mencoba mengikhlaskan kepergian sita. Mereka tidak ingin sita melihat kesedihan yang terpampang di wajahnya mereka. Sita paling bersedih jika melihat orang tuanya menangis.
Dalam kertas putih milik sita tertulis beberapa untaian kata.
“Aku berdiri di tengah ribuan duri yang ingin melukaiku. Membuat butiran kalbu menampakkan wajahnya. Batinku menjerit meminta pertolongan. Sekilas melihat orang-orang di sekitarku. Mereka tak ingin mendekatiku. Kadang kala, hatiku bertanya” Salah apa diriku ini? Mengapa mereka memperlakukanku seperti ini. Bukannya agama mengajari kita tidak ada diskriminasi antara setiap manusia. Yang Maha pencipta, ku mohon bantu aku dalam menghadapi kehidupan ini. Aku harus bertahan untuk kebahagiaan orang tuaku. Aku sangat menyayangi mereka. Motivasi diri seringkali aku lakukan. Hingga memperkuat batinku. Aku akan bertahan, biarlah duri-duri ini berada di sekelilingku. Namun, tiba-tiba seorang wanita datang menyelamatkanku. Mengajakku melangkahkan kaki, menghindar dari ribuan duri tersebut. Wanita itu selalu ada dalam keseharianku. Ia selalu nampak di kala semangatku mulai redah. Tak ada kata yang bisa ku ucapkan selain kata “TERIMA KASIH’’ semoga Allah membalas perbuatanmu. Aku akan selalu mengenalmu meskipun suatu saat nanti dimensi kita akan berbeda. Ku titipkan kedua belahan jiwaku, sayangilah mereka seperti kau menyayangiku.”
                                                                                                           Sahabatku,
                                                                                                           Dewi larasati

Ketika membaca untaian kata yang tercentang dalam kertas putih milik sita. Dewi merasa bangga mempunyai sahabat seperti sita. Kini tak ada lagi rasa penasaran dewi terhadap kertas putih milik sita. Semuanya sudah terungkap, kertas putih itu menjadi kenangan terakhir dari sita. Sahabat seperti sita sangat jarang didapatkan. Akankah masih terselip seorang sita di dunia ini?

***SELESAI***

0 komentar:

Posting Komentar