Karya: Siti Sarwindawati W. Soot
(PD PII Kota Gorontalo)
Untaian
kata tertulis dalam kertas putih. Mengisi kekosongan di antara garis-garis hitam. Melalui tinta-tinta ilmiah. Belajar, menulis,
serta memahami apa yang tertulis dalam kertas putih tersebut. Itulah aktifitas
keseharian yang dilakukan oleh seorang mahasiswi
universitas ternama di Indonesia.
Ketika
para dosen belum memperlihatkan roman mukanya. Maka keramaian akan menjadi musik alami dalam ruangan itu. Lalu,
setiap pembirama akan memperlihatkan keelokannya
dalam menanggapi kejenuhan. Semua pembirama asik dengan gerakan musiknya. Tapi,
anehnya terlihat satu pembirama yang duduk diam sambil menggoyangkan penanya di
atas kertas putih.
”
Sita , apa yang kamu lakukan ?” tanya dewi.
“Aku
sedang menulis” jawab sita dengan singkat.
Dewi
terdiam dalam kebingungan. Ia penasaran dengan tulisan yang ada dalam kertas
putih sita. Ia mendekati sita dan mencoba mencari tahu isi kertas putih itu.
Sita mengatahui tujuan dewi.
“Dew,
maaf. Kali ini aku tak bisa memperlihatkannya kepadamu.” Kata sita dengan suara
lembut.
“Yah!
aku mengerti, sit. Maaf jika aku mengganggumu.” sahut dewi dengan senyuman tipis.
Dewi
pun menjauh dari pandangan sita. Namun, dalam hatinya masih terselip segelitik
rasa penasaran. Dewi berdiri di depan jemari besi menghadapkan wajahnya ke arah
sawah yang tak jauh dari gedung kampus. Ia menghembuskan nafas seakan-akan
melepaskan segala pemikiran yang ada dalam benaknya.
Sedangkan,
sita sedang duduk diam melanjutkan goyangan penahnya di atas kertas putih.
Entah apa yang ia rasakan. Tiba-tiba, butiran kalbu jatuh membasahi pipinya. Tak
seorang pun yang mengehatui kejadian itu. Sita tak ingin seorang pun tahu jika
ia sedang menangis. Ia pun segera menghilangkan butiran kalbunya. Namun, sisa
kalbu itu berbekas
di kelopak matanya. Matanya bengkak, hidungnya merah dan tubuhnya lemah.
Dari
keramaian menjadi keheningan. Dosen yang baru tiba memberikan materinya.
Goyangan pena sita terhenti. Dan memfokuskan dirinya kepada pemateri. Teman-temannya
pun terdiam dan mengikuti proses perkuliahan. Ketentram, kedamain, dan
keseriusan terpancar dalam ruangan itu. Dosen yang sangat bijak menyalurkan
ilmunya kepada mahasiswa dengan beragam cara. Dan mahasiswa seharusnya menyerap
ilmu itu dengan caranya sendiri. Waktu terus berputar, detik menjadi menit dan
menit menjadi jam. Diakhir-akhir pertemuan selalu saja ada tugas yang
diberikan. MAKALAH itulah tugas atau
makanan sehari-harinya mahasiswa.
Jam
perkuliahan telah berakhir, keramaian terdengar lagi. Sita dan teman-temannya
segera meninggalkan ruangan. Dewi menghampiri sita.“Sit, kita jalan bareng yuk
?” memegang tangan sita sambil berjalan. Sita dan dewi menuju taman dekat
kampus. Duduk di taman merupakan kesenangan tersendiri bagi mereka. Dari
kejauhan terdengar suara yang memanggil nama dewi. Suara itu berasal dari
gedung yang berada di depan taman. Ternyata suara itu adalah suara rika, teman
dewi yang berbeda jurusan. Rika menghampiri dewi.
“Dewi….boleh
gabung ?” tanya rika dengan kebercandaan.
“Jangan,,,,
jangan ragu-ragu” dewi membalas kebercandaan rika.
Rika
duduk di samping dewi. Tak kenal maka tak taaruf, dewi memperkenalkan rika
kepada sita. Ketiga mahasiswi itu melanjutkan ujaran kata yang sempat terhenti.
Padahal, baru saja kenalan tapi sita dan rika sudah terlihat akrab seperti teman
lama yang bertemu kembali. Setelah beberapa menit kemudian seorang mahasiswa
datang menyampaikan pemberitahuan bahwa sita dan dewi harus segera masuk ke
ruangan.
“Rik,
maaf. Kami harus kembali ke ruangan.“ dewi memegang tangan rika dan sita
memeluk rika. Menandakan salam perpisahan di antara ketiganya. Mereka segera
melangkahkan kaki, menjauhi rika yang sedang duduk di taman seorang diri.
Langkah kaki mereka begitu cepat. Lantai dua adalah ruangan mereka. Tangga yang
mereka naiki seperti datar tak bertingkat. Arah pandang mereka selalu ke depan.
Ruang kelas telah terlihat. Mereka segera masuk.
“Aduh
! capek sekali” dengan nafas yang tidak teratur mereke segera duduk.
Beruntunglah dosen belum datang. Dua menit setelah duduk nampak roman muka
seorang lelaki tua berkacamata datang dengan membawa buku. Proses perkuliahan
telah berjalan. Di samping menerima materi, dewi memperhatikan sita yang sedang
membuka kembali kertas putihnya. Dosen menjelaskan materinya, sementara dewi
terus-menerus memperhatikan sita. Rasa penasaran. Itulah yang selalu dirasakan
dewi. Tak terasa jam perkuliahan telah selesai. Semua mahasiswa kembali ke
rumahnya masing-masing. Rumah sita sangat jauh dari kampus. Bertepatan rumah
dewi searah dengan sita, mereka selalu pulang bersama. Persahabatan mereka
menjadikan mereka seperti saudara sejati. Saling melengkapi satu sama lain,
berbagi suka-duka bersama dan bergotong royong.
Putaran
roda tiga semakin melaju. Keduanya sampai ke rumahnya dengan selamat. Kelelahn
yang dirasakan tak menguras semangat sita untuk membantu pekerjaan ibunya. Ia adalah
anak yang soleha dan berbakti kepada orang tua. Kehidupannya sangat sederhana,
tapi ia tak pernah mengeluh sedikitpun. Peribahasa mengatakan “Biar badan
penat, asalkan hati senang’.Ia sangat antusias jika melihat orang yang sedang
mendapat kesushan. Meskipun ia sendiri susah, namun jika ia masih sanggup
membantunya. Maka ia tak segan-segan membantunya. Perkuliahan merupakan salah
satu usaha untuk membahagiakan kedua belahan jiwanya. Kegigihan yang ia lakukan
tak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan pengorbanan belahan jiwanya.
Prinsip itulah yang selalu dipegangnya setiap melangkahkan kaki.
Mentari
berganti menjadi rembulan. Keramaian berubah menjadi keheningan. Suara langit
telah terdengar di pelosok dunia. Setelah menyelesaikan sholat dan tadarus
al-qur’an, sita duduk membentangkan kertas putihnya. Lalu, menggoyangkan
kembali penanya. Tak lama kemudian, terdengar suara ibu yang memanggil sita.
“Nak,
ayo makan. Ibu sudah siapin makanan kesukaanmu”
“Iya,
bu.” Sita menutup kertas putihnya.
Ruangan
itu dipenuhi dengan beragam aroma
masakan kuliner khas ibu sita. Tradisi pun dilaksanakan, sebelum makan ayah
memimpin doa. Setelah itu, mereka melahap dengan nikmat hidangan yang telah
tersajikan. Melahap dengan perlahan, kampung tengah sudah berkata cukup.
Kembali ke kamar, sita melanjutkannya aktifatasnya hingga terlelap.
Adzan
subuh telah berkumandang, sita segera mengambil air wudhu. Bertawakal kepada
sang pencipta telah selesai ia lakukan. Ia melangkah menuju dunia kampus. Banyak
cobaan silih berganti menimpa dirinya. Kesabaran menjadi obat dalam cobaan itu.
Sita berdiri tegak dalam kebenaran. Menjadi kesalahan terbesar jika ia
melanggar ketentuan sang pencipta. Seseorang menegurnya karena sita tidak ingin
memperdengarkan suara teriakan dari mulutnya. Ia tahu sebagian orang belum
memahami syariat agama. Ia menghargai pendapat maupun tindakan orang lain. Ia
juga tahu paham sekularisme telah dilakukan oleh orang tersebut. Namun, ia akan
mendiamkan hal tersebut.
Hari-hari
telah ia jalani dengan bumbu-bumbu ketulusan dan keikhlasan hati. Banyak
pengalaman serta pengetahuan yang sita ketahui. Perjalanan sita tak semulus
jalanan yang dilapisi aspal. Batu-batuan yang menjadi rintangan hidupannya.
Kertas putih menjadi teman hidupnya.
Dunia
hanya untuk sementara. Pintu akhirat sedang menunggu. Pohon besar yang rimbun
akan dedaunan tertuliskan nama-nama makhluk yang akan menjadi penghuni akhirat.
Daun yang jatuh akan menjadi penghuni akhirat. Sutradara terbaik yang tak tertandingi
ialah pemilik jagad raya, pencipta alam semesta. Adjal manusia tak seorang pun
mengetahuinya.
Sita
menghebuskan napas terakhirnya dalam sujudnya. Wajahnya bersinar, senyuman
tipis terlintas di wajahnya. Dewi teman dekat sita, tak percaya dengan kejadian
itu. Saat itu, sita dan dewi duduk di taman. Tiba-tiba, sita memberikan kertas
putihnya kepada dewi. Keanehan terjadi pada saat itu. Sejenak dalam hati dewi
berkata “Mengapa sita memberikan kertas putihnya, bukannya sita tidak ingin aku
mengetahui tulisan yang ada dalam kertas putih ini. Mungkinkah ini sudah
saatnya ia memberikan kertas putih ini.” Sita memeluk dewi seakan-akan mereka
akan berpisah. Dewi semakin heran.
Mentari
semakin memperlihatkan keelokanya, keringat membasahi wajah dewi. Tapi, sita
tak berkeringat bahkan terlihat kesejukan di wajahnya. Suara adzan dzuhur telah
berkumandang, sita dan dewi bergegas meninggalkan taman. Lalu, menuju mushola
dekat kampus. Sholat yang dilakukan sita berbeda dengan sholat biasanya. Sita
bersholat dengan sangat khusyu, dan sempat meneteskan air mata. Dewi telah
menyelesaikan sholatnya. Ia menunggu sita yang sedang bersholat. Ia
memperhatikan sita. Di sujud terakhir sita, dewi mendengar suara indah
seseorang yang memanggil nama sita. Dewi terkaget dan mencari sumber suara itu.
“Mungkin itu hanya halusinasiku.” Duduk kembali dan menunggu sita. Dewi
memperhatikan sita yang sudah lama bersujud. Dewi semakin heran. Tapi, ia belum
bertindak, ia hanya memperhatikan sita. Melihat kondisi yang terus menerus seperti
itu hingga memakan waktu yang cukup lama. Dewi menghampiri sita. Memegang bahu
sita dengan pelan. Badan sita terjatuh baring di sajadahnya. Dewi terkaget dan
langsung membangunkan sita. Ia memegang urat nadi sita sudah tak berdenyut
lagi. Tangisan dewi membuat penghuni kampus berbondong-bondong datang
menghampirinya. Suasana kampus menjadi haru. Tangisan terdengar di mana-mana.
Sita di pulangkan ke rumahnya. Orang tuanya tak menyangka anaknya telah tiada.
Mereka orang yang kuat akan segala cobaan. Mereka mencoba mengikhlaskan
kepergian sita. Mereka tidak ingin sita melihat kesedihan yang terpampang di
wajahnya mereka. Sita paling bersedih jika melihat orang tuanya menangis.
Dalam
kertas putih milik sita tertulis beberapa untaian kata.
“Aku
berdiri di tengah ribuan duri yang ingin melukaiku. Membuat butiran kalbu
menampakkan wajahnya. Batinku menjerit meminta pertolongan. Sekilas melihat
orang-orang di sekitarku. Mereka tak ingin mendekatiku. Kadang kala, hatiku
bertanya” Salah apa diriku ini? Mengapa mereka memperlakukanku seperti ini.
Bukannya agama mengajari kita tidak ada diskriminasi antara setiap manusia.
Yang Maha pencipta, ku mohon bantu aku dalam menghadapi kehidupan ini. Aku
harus bertahan untuk kebahagiaan orang tuaku. Aku sangat menyayangi mereka.
Motivasi diri seringkali aku lakukan. Hingga memperkuat batinku. Aku akan
bertahan, biarlah duri-duri ini berada di sekelilingku. Namun, tiba-tiba seorang
wanita datang menyelamatkanku. Mengajakku melangkahkan kaki, menghindar dari
ribuan duri tersebut. Wanita itu selalu ada dalam keseharianku. Ia selalu
nampak di kala semangatku mulai redah. Tak ada kata yang bisa ku ucapkan selain
kata “TERIMA KASIH’’ semoga Allah membalas perbuatanmu. Aku akan selalu
mengenalmu meskipun suatu saat nanti dimensi kita akan berbeda. Ku titipkan
kedua belahan jiwaku, sayangilah mereka seperti kau menyayangiku.”
Sahabatku,
Dewi
larasati
Ketika
membaca untaian kata yang tercentang dalam kertas putih milik sita. Dewi merasa
bangga mempunyai sahabat seperti sita. Kini tak ada lagi rasa penasaran dewi
terhadap kertas putih milik sita. Semuanya sudah terungkap, kertas putih itu
menjadi kenangan terakhir dari sita. Sahabat seperti sita sangat jarang
didapatkan. Akankah masih terselip seorang sita di dunia ini?
***SELESAI***
0 komentar:
Posting Komentar