Pendahuluan
Meskipun tidak didapati suatu
definisi yang tunggal mengenai agama di kalangan para ahli filsafat agama,
tetapi perbedaan pendefinisian agama dapat dipersatukan pada beberapa ciri
dasar dari suatu yang dinamakan agama. Di antara ciri dasar dari suatu agama
adalah adanya kepercayaan yang teguh kepada suatu kekuatan yang Mahagaib,
dimana kepercayaan tersebut menuntut manusia untuk berkomunikasi dan
menyembahnya lewat upacara-ritual tertentu yang diatur dalam ajaran kepercayaan
tersebut. Adakalanya ajaran tersebut terhimpun dalam satu kitab suci.
Kepercayaan itu juga kemudian membentuk cara pandang terhadap alam (dunia
dan akhirat) dan membentuk pola prilaku tertentu bagi para penganutnya.
Jika ditinjau dari batasan dasar
suatu agama seperti ini maka Islam sebagai agama mempunyai ajaran yang sangat
jelas. Zat yang Mahagaib, Mahakudus, dan Mahasempurna yang merupakan pusat
kepercayaan agama, dalam Islam tegas dinyatakan adalah Alla Azza wa Jalla.
Pedoman ajaran Islam tertuang dalam kitab suci Al-Quran yang dibawa oleh Rasul
Allah. Hubungan dan penyembahan manusia kepada Tuhan telah rinci. Pandangannya
tentang alam, baik tentang dunia maupun apa yang di luar dunia sangat jelas.
Demikian juga pola prilaku yanga diinginkan dari para pemeluknya.
Karena agama berperan dalam memberi
jalan penghubung manusia dengan zat mutlak yang Mahagaib, maka disamping
doktrin tentang ketuhanan, doktrin agama yang dianggap terpenting adalah
tentang ritual atau tatacara manusia menyembah Tuhan. Tatacara ritual biasanya
baku dan disakralkan. Tatacara ritual ini dalam batas tertentu dalam Islam
disebut tatacara ibadah.
Filsafat ibadah
Berpikir secara filsafat berarti
berfikir sistematis dan radikal. Objek material dari pemikiran filsafat adalah
segala yang ada, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak dalam indra
manusia. Sedang objek formal dari filsafat adalah sudut pandang pemikiran
filsafat yang bersifat menyeluruh, radikal dan objektif. Ibadah sebagai sesuatu
bagian dari yang "ada" dapat dikaji dari pendekatan filsafat.
Filsafat ibadah dapat berarti memahami ibadah dengan pendekatan filsafat atau
metode pemikiran filsafat dalam menggali pemahaman terhadap ibadah. Kerangka
metodologis filsafat dalam mengkaji sesuatu tidak lepas dari tiga rumus dasar
ilmu, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dengan demikian, untuk
memahami ibadah dari pendekatan filsafat paling tidak harus menjawab beberapa
pertanyaan mendasar: Apa hakikat dari ibadah itu? Bagaimana ibadah diketahui
sebagai sesuatu keharusan? Siapakah yang berhak diibadahi? Apa tujuan dan
manfaat dari ibadah? Paper ini akan coba mengurai dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas.
Ibadah Dan Dzat Yang Diibadati
Secara etimologis ibadah adalah kata
dasar (masdar) dari 'abada-ya'budu-ibâdatan yang artinya mengabdi atau
menghambakan diri. Menurut para fakar bahasa Arab, seperti Ibnu mandhur Al
Afriqy, asal makna dari ibadah adalah "tunduk dan menghinakan diri"
(al khudu'u wat tadzallul) atau "kepatuhan dengan rasa tunduk" (at
thâ'ah ma'al khudhu'i). Bagian tanah di padang pasir yang menjadi rendah karena
sering dilewati dan diinjak disebut "tharîq muta'abbad". Seorang
budak atau hamba sahaya dinamakn 'âbid karena ia tunduk dan patuh kepada
perintah majikannya. Maka setiap keta'atan atau kepatuhan dengan rasa tunduk
dan rendah diri kepada sesuatu berarti telah beribadah kepada sesuatu itu dan
ia telah menjadi hambanya. Oleh sebab itu muncul istilah 'abadat thâghut
yang berarti para pengabdi syetan, 'abdud dînar wad dirhâm
yang artinya para pengabdi uang Dinar dan Dirham seperti yang disebutkan dalam
hadits nabi, "celakalah para hamba dinar dan dirham dan pakaian
kebesaran…".
Dari pengertian kebahasaan di atas
terkandung makna implisit bahwa dalam kata ibadah ada hubungan timbal balik dua
pihak, pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Pihak yang mendominasi
menguasai kebebasan dari pihak yang didominasi sehingga ia menundukan perasaan,
pikiran dan perbuatannya kepada apa yang dikehendaki dan disukai oleh yang
ditaatinya. Sesuatu yang diibadati itulah kemudian melahirkan apa yang disebut
"Tuhan". Beribadah itu di satu sisi menunjukan penyerahan diri
kepada yang diakui sebagai Tuhan dan pengakuan sebagai makhluk tidak berdaya di
hadapan kekuasan-Nya meskipun seringkali ketundukan itu sendiri menuntut
pengorbanan yang pahit dan tidak sejalan atau bertentangan dengan dorongan
naluri hawa nafsunya. Inilah arti asal dari ibadah yang sesungguhnya. Tetapi di
sisi lain, kata ibadah juga digunakan untuk menunjukan kepatuhan yang
membabibuta kepada kepuasan hawa nafsunya sendiri. Sehingga orang yang hidupnya
hanya mencari kepuasan dari uang dan jabatan juga disebut sebagai hamba atau
orang yang beribadah kepada Dinar, Dirham dan Kekuasaan. Semakna dengan hadits
nabi ini adalah pernyataan Al-Qur'an, "Tidakkah kamu memperhatikan
orang-orang yang menjadikan hawanafsunya sendiri sebagai tuhan (yang
disembah)"
Sementara itu hakikat ibadah dikemukakan oleh Ibnu
Sayyidih dalam Al Mukhashish,
"Setiap ketundukan yang tidak
ada lagi di atasnya ketundukan (puncak ketundukan) adalah ibadah, baik dia itu
taat ataupun tidak taat kepada yang diibadati. Maka setiap ketaatan kepada Allah
dengan cara tunduk dan merendahkan diri itulah ibadah. Ibadah merupakan satu
jenis dari ketundukan yang tidak layak dilakukan kecuali kepada yang memberi
nikmat tertinggi seperti nikmat kehidupan, pemahaman, pendengaran, penglihatan.
Berterimakasih (syukur) dan beribadah tidak berhak dilakukan kecuali terhadap
nikmat. Karena ibadah itu khusus terkait dengan jenis nikmat tertinggi
dan tidak ada pemberi nikmat tertinggi selain Allah, karena itu ibadah yang
sesungguhnya hanya untuk Allah". (Abul Hasan Ali bin Ismail al Andalusy,
yang terkenal dengan panggilan Ibnu Sayyidih, Al Mukhashish, III/170)(.
www.alwaraq.com)
Adapun pengertian ibadah secara terminologis, menurut
pengarang kitab At Ta'rîfat adalah
?? Ibadah adalah perbuatan mukallaf meskipun
bertentangan dengan hawanafsunya sebagai pengagungan terhadap tuhannya
Definisi ini mengandung pengertian
bahwa ketundukan dan ketaatan dapat dikatagorikan ibadah secara istilahi
manakala ia dilakukan oleh orang yang sudah baligh dan berakal sehat dengan
cara sadar bukan paksaan, lahir dari keikhlasan menjalankan perintah bukan
karena dorongan hawa nafsu, bahkan ibadh terkadang bertentangan dengan hawa
nafsunya sendiri, semata-mata tujuannya mengagungkan Tuhannya.
Definisi yang lebih jelas dan lebih
mencakup dikemukakan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa ibadah adalah
"nama yang mencakup setiap apa yang dicintai dan diridhai Allah dari
perkataan dan perbuatan baik yang tersembunyi maupun yang nyata".
Dari definisi Ibnu Taimiyah di atas
dapat diuraikan lagi bahwa perkara yang dicintai dan diridhai Allah mencakup
perbuatan dalam mengerjakan apa saja yang diperintahkan Allah, perbuatan
menjauhi yang dilarang-Nya, perbuatan dalam mengerjakan atau meningglkan yang
dibolehkan. Perbuatan manusia itu sendiri mencakup perbuatan hati, lisan dan
anggota badan. Perbuatan hati itulah yang dimaksud tersembunyi, sedang lisan
serta anggota badan adalah perbuatan yang nampak. Perbuatan hati mencakup apa
yang harus diimani dan apa yang harus diingkari, apa yang harus dicintai dan dibenci,
dan seterusnya. Maka masalah I'tiqadiyah ditinjau dari sudut perbuatan hati,
iapun termasuk bagian dari ibadah. Perbuatan lisan mencakup keharusan
mengatakan yang benar, jujur, adil, dan baik dan mencegah setiap perkataan yang
dusta, zalim, palsu dan buruk. Sedang perbuatan angggota badan adalah segala
apa yang harus atau boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dilakukan oleh tubuh
manusia. Masing-masing dari perbuatan hati, lisan dan badan secara hukum tidak
akan lepas dari lima kemungkinan, yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, dan
makruh. Maka ibadah dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hukum.
Dari segi praktisnya ibadah juga
terbagi kepada ibadah yang langsung antara manusia dengan Allah seperti shalat
puasa, dzikir, dan doa yang diistilahkan dengan ibadah khusus (ibadah
makhdhah). Ada juga ibadah yang terkait dengan perbuatan manusia dengan
sesamanya yang disebut ibadah umum atau muamalah. Dengan demikian ibadah dalam
pandangan Ibnu Taimiyah mencakup seluruh perbuatan dalam hidup manusia baik perbuatan
yang bersifat vertikal manusia dengan Tuhan ataupun yang bersifat horizontal
hubungan antar sesama manusia.
Kaidah-kaidah Ibadah
Sebagaimana dikemukakan pandangan
Ibnu Taimiyah di atas, maka ibadah pada garis besarnya dapat diklasifikasikan
kepada dua bagian, ibadah ritual dan ibadah sosial. Prinsip yang membedakan
antara kedua jenis ibadah ini dapat diperhatikan dari objek material dan objek
formal dari ibadah tersebut. Secara meterial objek ibadah dan motivasi atau
niyat yang melatarbelakngi ibadah ritual adalah Dzat yang diibadati secara
langsung, yaitu Allah SWT. seperti ketika seorang sedang berdzikir, berdo'a,
shalat, shaum, bertawakal, dan semacamnya maka manusia langsung berkomunikasi
secara vertikal dengan Allah SWT. Sedang objek material dalam ibadah muamalah
atau sosial adalah sesama manusia dan lingkungannya. Seorang yang menolong
orang lain dengan membantunya, memberinya makanan dan pakaian, umpamnya, atau
orang yang sedang bekerja menyelamatkan hutan dari kebakaran, secara lahiriyah
ia berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya, tetapi motivasi orang itu
mengharap kecintaan dan keridhaan Tuhan dengan menciptakan kemaslahatan hidup
di tengah masyarakatnya.
Dari sudut objek formalnya perbedaan
ibadah ritual dengan ibadah sosial adalah bahwa ibadah ritual telah mempunyai
batasan-batasan yang baku dan detail. Shalat umpamanya telah ditatapkan dan
diatur waktu, tempat, jumlah, dan tatacaranya secara baku yang tidak boleh
dirubah dan ditambah-tambah lagi. Sehingga ada kaidah yang disepakati oleh para
fuqaha, "Al-Ashlu fil ibadati al Buthlan hatta yaqûma al dalîl 'ala
'amrihi", atau kaidah "Al ashlu fil 'ibâdati al ittiba",
dan sebagainya. Sedang ibadah muamalah kebalikan dari ibadah makhdhah, ia
bersifat pleksibel. Syariat hanya mengatur batasan-batasan umum saja. Diantara
batasan umum ibadah muamalah itu adalah al maslahat al mursalah atau
kemaslahatan umum. Sehingga di kalangan para fuqaha Islam terkenal kaidah, "Al
Ashlu fil mu'amalati al ibahah hatta yaquuma al dalîl 'ala tahrimihi".
Dengan kerangka berfikir dan
kaidah-kaidah seperti di atas, maka ibadah dalam ajaran Islam ada yang konstan
dan baku yang tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, ada ibadah
mu'amalah yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman manusia dengan tidak
keluar dari akarnya. Dengan demikian, antara keaslian ubudiyah yang statis di
satu sisi dengan pleksibilitas ajaran Islam dalam merespons laju perkembangan
kehidupan umat manusia dapat berjalan seiring sejalan secara seimbang.
Tuntutan beribadah
Mengapa manusia harus beribadah?
Untuk menjawab pertanyaan ini akan dikemukakan dua aliran pemikiran. Yang
pertama adalah yang berfaham bahwa kewajiban agama (ibadah) didapat
pertama-tama oleh akal. Pendapat kedua yang berfaham bahwa kewajiban agama
hanya diketahui melalui pewahyuan. Faham pertama adalah pendapat umum dari
aliran Muktazilah. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H) salah seorang tokoh
Muktazilah yang sangat berpengaruh, berteori bahwa kewajiban ada dua macam,
kewajiban akli dan kewajiban syar'i. Kewajiban akli adalah kewajiban yang
secara akal dapat dicapai oleh manusia tanpa menunggu adanya wahyu. Seperti
akal manusia akan mengetahui bahwa mengembalikan titipan, membayar hutang, dan
berterimaksih atas nikmat yang diperoleh adalah wajib. Sedang kewajiban syariat
adalah kewajiban yang diketahui manusia berdasarkan syariat yang dibawa para
nabi. Seperti wajibnya mengembalikan titipan, membayar hutang, mensyukuri
ni'mat, shalat, dan sebagainya, dengan niyat semata-mata sebagai mendekatkan
diri dan mengharap pahala dari Allah. sebagai ibadah mendekatkan diri kepada
Allah. Padahal semua itu tidak akan terjadi kecuali ketika seseorang sudah
mengenal Allah. Maka mengenal Allah adalah kewajiban pertama manusia. Mengenal
Allah tidak akan terjadi dan tidak mungkin diperoleh oleh manusia melainkan
dengan berfikir. Karena itu berfikir tentang Allah adalah kewajiban akal
manusia yang pertama.
Manusia mengenal Allah ketika
memikirkan nikmat-nikmat-Nya. Nikmat berarti segala yang memberi manfaat
kebaikan. Nikmat yang paling pertama dan besar manfaatnya adalah kehidupan.
Secara akal manusia mengetahui bahwa nikmat harus dibalas dengan bersyukur.
Bersyukur hakikatnya adalah mengakui bahwa nikmat itu pemberian dari Allah.
Bersyukur mencakup pengakuan dengan hati, lisan dan perbuatan. Akal juga
mengetahui bahwa setiap yang membahayakan dan menimbulkan kerusakan pastilah
tercela dan segala yang memberi manfaat dan kebaikan pastilah terpuji. Dengan
berfikir yang mendalam akal dapat mencapai pengetahuan bahwa Allah pastilah
Mahaesa dan Mahaadil. Keesaan dan keadilan sangat nyata dalam semua ciptaan dan
nikmat-Nya yang dapat difikirkan manusia. Pengenalan manusia akan Allah yang
Mahaesa dan Mahaadil memungkinkan manusia untuk menerima adanya wahyu dan
diutusnya para nabi. Sebab Allah yang mahaesa dan Mahaadil pasti membimbing
manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran dengan menurunkan wahyunya. Maka
pengetahuan manusia akan keesaan Allah dan keadilan-Nya memastikan bahwa Allah
wajib menurunkan Kitab bagi manusia. Sebab jika Allah tidak menurunkan kitab
dan tidak mengutus nabi-Nya berarti Allah tidak adil terhadap manusia. Dengan
demikian, akal adalah dasar sedang wahyu hanyalah penegasan dan perincian.
Karena itu kewajiban manusia beribadah kepada Allah pertama-tama ditetapkan
oleh akal yang mengharuskan berterimakasih atas nikmat dan kebaikan yang
diterimanya. Kemudian diperjelas oleh syariat yang dibawa para nabi.
Teori kekuatan akal dalam mengetahui kewajiban jauh
sebelum masa Al Qadhi Abdul Jabbar, juga telah dikemukakan oleh Abu Bakar
Muhammad bin Zakaria Al Razi seorang filosof Islam yang hidup antara tahun 863
– 925 M. Ar Razi bahkan lebih ekstrim lagi dalam memposisikan akal sebagai
sumber kebenaran. Menurut Ar Razi, dengan kekuatan akalnya manusia dapat
mengenal Tuhan, mengetahui benar salah, baik dan buruk, serta sanggup mengatur
hidupnya di dunia ini. Karena itu ia berpendapat tidak perlu kepada wahyu dan
nabi, serta mengingkari kemukjizatan Al-Qur'an.
Sementara aliran kedua yang dianut kaum Asy'ariyah dan
Ahlus Sunnah menolak kemampuan akal untuk mengetahui kewajiban yang bbersifat
taklifi sebagaimana halnya kewajiban beribadah. Akal hanya memperoleh
pengetahuan secara umum tentang baik dan buruk. Tetapi untuk mengetahuinya
seuatu itu wajib atau haram hanya dapat diketahui dengan wahyu. Argumentasi
kaum Asy'ariyah dan Ahlus sunnah dalam masalah ini di antaranya merujuk kepada
bukti bahwa Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk mengajari manusia
kewajiban beribadah kepadanya dan ibadah yang paling pokok adalah mentauhidkan
Allah. Bukti lain disebutkan pada ayat Al-Qur'an bahwa adanya hukuman atas
pembangkangan hanyalah setelah diutusnya Rasul. Ini maknanya bahwa sebelum
datangnya Rasul manusia belum dapat dihukumi sebagai mukmin atau kafir karena
belum mengetahui kewajiban beribadah dan mentauhidkan Allah meskipun mereka
telah mengetahui sebagian perkara yang dianggap baik dan buruk dengan kemampuan
akalnya. Jadi akal semata tidak sampai kepada kemampuan untuk menetapkan suatu
itu wajib atau haram secara hukum taklifi kepada manusia. Dengan demikian
syariat yang berdasarkan wahyulah yang menjadi dasar hukum pengetahuan wajibnya
beribadah kepada Allah, kemudian akal memahamkan dan berfikir sejalan dengan
dalil-dalil syariat.
Tujuan dan hikmah ibadah:
Berkaitan dengan pertanyaan apakah
ibadah mempunyai tujuan atau maksud dan manfaat? Ibnul Qayim Al Jauziyah
mengemukakan empat aliran pemikiran:
Pertama, aliran Jabariyah, yaitu mereka
yang mengingkari adanya tujuan dan manfaat dari ibadah. Ibadah hanyalah
semata-mata menunaikan perintah Allah, tidak terkait dengan kebahagiaan maupun
keselamatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Argumentasi mereka
dibangun di atas prinsip pemikiran bahwa segala sesuatu berada dalam
"iradah dan masyi'ah" (kehendak dan kekuasaan) Allah yang mutlak dan
bebas yang tidak terkait dengan sebab akibat, hikmah dan tujuan yang bisa
diketahui manusia. Allah maha berkehendak dan berkuasa sekiranya orang-orang
yang jahat masuk surga dan diberi segala kebahagiaan dan kenikmatan, atau
sebaliknya orang-orang baik dan taat dimasukan ke dalam neraka, dan kehendak
Allah itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dikatakan tidak adil sebab
kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak di luar dari apa yang dapat diketahui
manusia dan segala kehendak serta perbuatan Allah itu berada dalam ilmu dan
keadilan-Nya yang mutlak juga. Dengan demikian dalam pandangan mereka ibadah
dan kemaksiyatan sama saja sebagai manispestasi dari kehendak dan kekuasaan
Allah pada makhluk-Nya. Yang taat adalah taat karena telah diciptakan untuk taat,
yang membangkang adalah membangkan karena telah diciptakan untuk membangkang.
Kedua, mereka yang berpandangan
sebaliknya dari aliran pertama. Mereka berpendapat bahwa ibadah itu tujuannya
semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Tidak ada sedikitpun yang tujuannya
untuk Tuhan. Nasib dan kebahagiaan manusia semata-mata ditentukan oleh
perbuatannya sendiri. Pandangan mereka didasarlkan atas teori kebebasan manusia
dan keadilan Tuhan. Manusia benar-benar bebas dan merdeka menentukan dan
memilih kebaikan dan keburukan dan Tuhan tidak mengintervensi kehendak dan
pilihan manusia itu melainkan hanya membalsanya dengan adil. Maka beribadah
pada hakikatnya mengumpulkan balasan atau pahala demi kebahagiaan manusia
sendiri dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.
Ketiga, aliran yang berpendapat bahwa
ibadah semata-mata penyucian jiwa. Tujuan ibadah adalah melatih manusia
bagaimana meningkatkan derajat kemanusiaannya agar mencapai kedudukan yang
dekat kepada Allah. Manfaat ibadah adalah meningkatkan manusia dari kedudukannya
sebagai tumbuhan dan binatang kepada kemanusiaan dengan cara meningkatkan
kualitas sepiritual untuk sampai kepada maqam seperti malaikat. Maka ibadah
yang sempurna akan melepaskan manusia dari ketergantungan terhadap dan
keterpasungan oleh dunia materi.
Keempat, mereka yang berpendapat bahwa
tujuan ibadah adalah perwujudan dari tujuan penciptaan makhluk itu sendiri
dimana Allah menciptakan jin dan manusia agar beribadah kepada-Nya. Hikmah
ibadah bagi manusia adalah untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan hidup dunia
dan akhirat. Kebahagiaan manusia ketika mereka merasakan kecintaan yang hakiki.
Puncak ibadah adalah kecintaan yang mutlak kepada Allah. Kecintaan kepada Allah
menyebabkan manusia tunduk dan patuh dengan rasa bahagia. Cinta kepada Allah
menuntut cinta kepada segala yang dicintai Allah dan membenci apa yang
dibenci-Nya. Allah perintahkan bahwa jika manusia mencintai Allah hendaklah
mengikuti Rasul-nya. Ibadah dengan penuh kecintaan kepada Allah menyebabkan
jiwa menjadi suci dan kasih sayang terhadap makhluk, maka ibadah menjadi
rahmat bagi semesta alam.
Penutup
Pembahasan ibadah dengan pendekatan filosofis masih
banyak segi dan aspeknya. Demikian juga pemahaman ibadah dapat dilakukan dengan
pendekatan teologis, sosiologis, dan psikologis. Ibadah dalam Islam memang
memberi ruang yang luas untuk dikaji dari berbagai aspeknya. Banyak ahli yang
telah meneliti bagian-bagian tertentu dari ibadah Islam dengan tinjaun yang
berbeda-beda. Seperti filosofi shalat, haji, shaum, zakat, dan sebagainya.
Demikian juga shalat dalam tinjauan kesehatan, tinjaun sosial, haji dalam
tinjauan sosial-politik, dan seterusnya. Namun karena keterbatasan penulis
hanya dapat memaparkan sebagian kecil aspek filosofis dari ibadah sebagaimana
di atas.
REFERENSI
Al Azhary, Tahdzibul
Lughah, (Maktabah Syamilah: www.alwarraq.com)
Al Qadhi
Abdul Jabbar, Syarah Ushul Al Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996)
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1999)
Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press,
2001)
----------, Falsafah
dan Mistisime Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet ke-10, hal.
18
Ibnu
Taimiyah, Darut ta'arud al aqli wa an naqli, (Riyadh: Darul kunuz al
adabiyah, 1393H),
Ibnul Qayim
Al Jauziyah, Madarijus Salikin Baina Manzilati Iyyaka na'budu wa Iyyaka
nasta'in, (Bairut: Darul Kitab Al Arabiyah, 1973) cet ke-2, juz I, hal.
91-98
Izzuddin
Abdul Aziz bin Abdus Salam, Al Imâm fî bayâni adillatil ahkâm
(Maktabah Syamilah)
Juhaya S
Praja, Ringkasan Sejarah Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA, 2009)
Muhammad bin
Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar el Shadir, tt)
Sidi
Ghazalba, Ilmu, Flsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992)
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2001), hal.3. Bandingkan dengan
Sidi Ghazalba, Ilmu Filsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal, 102
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,
(Jakarta: Logos, 1999), hal.1
[3] Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al
Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar el Shadir, tt), juz III, hal. 273.
Bandingkan dengan Al Azhary, Tahdzibul Lughah, juz I, hal. 231.
[4]Perhatikan surat Al Maidah : 60
[5] Terjemah dari Al-Qur'an Surat Al
Jatsiyah ayat 23 dan Surat Al Furqan ayat 43
[6]Al Jurjani, At Ta'rîfât,
(Maktabah Syamilah: www.alwarraq.com) , hal. 46
[7] Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah dalam
Majmu' al fatawa, (Maktabah Syamilah), juz, x, hal. 149
[8]Untuk lebih luasnya argumen masalah
ini silakan baca Al Qadhi Abdul Jabbar, Syarah Ushul Al Khamsah, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), cet ke-3, hal 77- 89
[9]Harun Nasution, Falsafah dan
Mistisime Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet ke-10, hal. 18
[10]Perhatikan di antaranya Imam
Asyahrastâni, Nihâyatul Iqdâm fi ilmil kalam, (www.alwaraq.com : maktabah syamilah), hal.
129. Periksa juga, Ibnu Taimiyah, Darut ta'arud al aqli wa an naqli,
(Riyadh: Darul kunuz al adabiyah, 1393H), Juz I, hal. 122
[11] Surat Al Isrâ ayat 15
[12]Ibnul Qayim Al Jauziyah, Madarijus
Salikin Baina Manzilati Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in, (Bairut: Darul
Kitab Al Arabiyah, 1973) cet ke-2, juz I, hal. 91-98
[13] Surat Ali Imran ayat 31 menyatakan,
"Katakanlah olehmu Muhammad, kalau kalian mencintai Allah maka ikutilah
aku, niscaya Allah membalas mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan
Allah itu Mahapengampun lagi Mahapenyayang".
0 komentar:
Posting Komentar