Selasa, 23 Juni 2015

Kajian Ibadah



                                                  Pendahuluan
Meskipun tidak didapati suatu definisi yang tunggal mengenai agama di kalangan para ahli filsafat agama, tetapi perbedaan pendefinisian agama dapat dipersatukan pada beberapa ciri dasar dari suatu yang dinamakan agama. Di antara ciri dasar dari suatu agama adalah adanya kepercayaan yang teguh kepada suatu kekuatan yang Mahagaib, dimana kepercayaan tersebut menuntut manusia untuk berkomunikasi dan menyembahnya lewat upacara-ritual tertentu yang diatur dalam ajaran kepercayaan tersebut. Adakalanya ajaran tersebut terhimpun dalam satu kitab suci.  Kepercayaan itu juga kemudian membentuk cara pandang terhadap alam (dunia dan akhirat) dan membentuk pola prilaku tertentu bagi para penganutnya.
Jika ditinjau dari batasan dasar suatu agama seperti ini maka Islam sebagai agama mempunyai ajaran yang sangat jelas. Zat yang Mahagaib, Mahakudus, dan Mahasempurna yang merupakan pusat kepercayaan agama, dalam Islam tegas dinyatakan adalah Alla Azza wa Jalla. Pedoman ajaran Islam tertuang dalam kitab suci Al-Quran yang dibawa oleh Rasul Allah. Hubungan dan penyembahan manusia kepada Tuhan telah rinci. Pandangannya tentang alam, baik tentang dunia maupun apa yang di luar dunia sangat jelas. Demikian juga pola prilaku yanga diinginkan dari para pemeluknya.
Karena agama berperan dalam memberi jalan penghubung manusia dengan zat mutlak yang Mahagaib, maka disamping doktrin tentang ketuhanan, doktrin agama yang dianggap terpenting adalah tentang ritual atau tatacara manusia menyembah Tuhan. Tatacara ritual biasanya baku dan disakralkan. Tatacara ritual ini dalam batas tertentu dalam Islam disebut tatacara ibadah.
Filsafat ibadah
Berpikir secara filsafat berarti berfikir sistematis dan radikal. Objek material dari pemikiran filsafat adalah segala yang ada, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak dalam indra manusia. Sedang objek formal dari filsafat adalah sudut pandang pemikiran filsafat yang bersifat menyeluruh, radikal dan objektif. Ibadah sebagai sesuatu bagian dari yang "ada" dapat dikaji dari pendekatan filsafat. Filsafat ibadah dapat berarti memahami ibadah dengan pendekatan filsafat atau metode pemikiran filsafat dalam menggali pemahaman terhadap ibadah. Kerangka metodologis filsafat dalam mengkaji sesuatu tidak lepas dari tiga rumus dasar ilmu, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dengan demikian, untuk memahami ibadah dari pendekatan filsafat paling tidak harus menjawab beberapa pertanyaan mendasar: Apa hakikat dari ibadah itu? Bagaimana ibadah diketahui sebagai sesuatu keharusan? Siapakah yang berhak diibadahi? Apa tujuan dan manfaat dari ibadah? Paper ini akan coba mengurai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas.

Ibadah Dan Dzat Yang Diibadati
Secara etimologis ibadah adalah kata dasar (masdar) dari 'abada-ya'budu-ibâdatan yang artinya mengabdi atau menghambakan diri. Menurut para fakar bahasa Arab, seperti Ibnu mandhur Al Afriqy, asal makna dari ibadah adalah "tunduk dan menghinakan diri" (al khudu'u wat tadzallul) atau "kepatuhan dengan rasa tunduk" (at thâ'ah ma'al khudhu'i). Bagian tanah di padang pasir yang menjadi rendah karena sering dilewati dan diinjak disebut "tharîq muta'abbad". Seorang budak atau hamba sahaya dinamakn 'âbid karena ia tunduk dan patuh kepada perintah majikannya. Maka setiap keta'atan atau kepatuhan dengan rasa tunduk dan rendah diri kepada sesuatu berarti telah beribadah kepada sesuatu itu dan ia telah menjadi hambanya. Oleh sebab itu muncul istilah 'abadat thâghut yang berarti para pengabdi syetan, 'abdud dînar wad dirhâm yang artinya para pengabdi uang Dinar dan Dirham seperti yang disebutkan dalam hadits nabi, "celakalah para hamba dinar dan dirham dan pakaian kebesaran…".
Dari pengertian kebahasaan di atas terkandung makna implisit bahwa dalam kata ibadah ada hubungan timbal balik dua pihak, pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Pihak yang mendominasi menguasai kebebasan dari pihak yang didominasi sehingga ia menundukan perasaan, pikiran dan perbuatannya kepada apa yang dikehendaki dan disukai oleh yang ditaatinya. Sesuatu yang diibadati itulah kemudian melahirkan apa yang disebut "Tuhan". Beribadah itu di satu sisi menunjukan  penyerahan diri kepada yang diakui sebagai Tuhan dan pengakuan sebagai makhluk tidak berdaya di hadapan kekuasan-Nya meskipun seringkali ketundukan itu sendiri menuntut pengorbanan yang pahit dan tidak sejalan atau bertentangan dengan dorongan naluri hawa nafsunya. Inilah arti asal dari ibadah yang sesungguhnya. Tetapi di sisi lain, kata ibadah juga digunakan untuk menunjukan kepatuhan yang membabibuta kepada kepuasan hawa nafsunya sendiri. Sehingga orang yang hidupnya hanya mencari kepuasan dari uang dan jabatan juga disebut sebagai hamba atau orang yang beribadah kepada Dinar, Dirham dan Kekuasaan. Semakna dengan hadits nabi ini adalah pernyataan Al-Qur'an, "Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang menjadikan hawanafsunya sendiri sebagai tuhan (yang disembah)"
Sementara itu hakikat ibadah dikemukakan oleh Ibnu Sayyidih dalam Al Mukhashish,
"Setiap ketundukan yang tidak ada lagi di atasnya ketundukan (puncak ketundukan) adalah ibadah, baik dia itu taat ataupun tidak taat kepada yang diibadati. Maka setiap ketaatan kepada Allah dengan cara tunduk dan merendahkan diri itulah ibadah. Ibadah merupakan satu jenis dari ketundukan yang tidak layak dilakukan kecuali kepada yang memberi nikmat tertinggi seperti nikmat kehidupan, pemahaman, pendengaran, penglihatan. Berterimakasih (syukur) dan beribadah tidak berhak dilakukan kecuali terhadap nikmat. Karena ibadah itu khusus terkait dengan jenis nikmat tertinggi  dan tidak ada pemberi nikmat tertinggi selain Allah, karena itu ibadah yang sesungguhnya hanya untuk Allah". (Abul Hasan Ali bin Ismail al Andalusy, yang terkenal dengan panggilan Ibnu Sayyidih, Al Mukhashish, III/170)(. www.alwaraq.com)
Adapun pengertian ibadah secara terminologis, menurut pengarang kitab At Ta'rîfat adalah
?? Ibadah adalah perbuatan mukallaf meskipun bertentangan dengan hawanafsunya sebagai pengagungan terhadap tuhannya
Definisi ini mengandung pengertian bahwa ketundukan dan ketaatan dapat dikatagorikan ibadah secara istilahi manakala ia dilakukan oleh orang yang sudah baligh dan berakal sehat dengan cara sadar bukan paksaan, lahir dari keikhlasan menjalankan perintah bukan karena dorongan hawa nafsu, bahkan ibadh terkadang bertentangan dengan hawa nafsunya sendiri, semata-mata tujuannya mengagungkan Tuhannya.
Definisi yang lebih jelas dan lebih mencakup dikemukakan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa ibadah adalah "nama yang mencakup setiap apa yang dicintai dan diridhai Allah dari perkataan dan perbuatan baik yang tersembunyi maupun yang nyata".
Dari definisi Ibnu Taimiyah di atas dapat diuraikan lagi bahwa perkara yang dicintai dan diridhai Allah mencakup perbuatan dalam mengerjakan apa saja yang diperintahkan Allah, perbuatan menjauhi yang dilarang-Nya, perbuatan dalam mengerjakan atau meningglkan yang dibolehkan. Perbuatan manusia itu sendiri mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Perbuatan hati itulah yang dimaksud tersembunyi, sedang lisan serta anggota badan adalah perbuatan yang nampak. Perbuatan hati mencakup apa yang harus diimani dan apa yang harus diingkari, apa yang harus dicintai dan dibenci, dan seterusnya. Maka masalah I'tiqadiyah ditinjau dari sudut perbuatan hati, iapun termasuk bagian dari ibadah. Perbuatan lisan mencakup keharusan mengatakan yang benar, jujur, adil, dan baik dan mencegah setiap perkataan yang dusta, zalim, palsu dan buruk. Sedang perbuatan angggota badan adalah segala apa yang harus atau boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dilakukan oleh tubuh manusia. Masing-masing dari perbuatan hati, lisan dan badan secara hukum tidak akan lepas dari lima kemungkinan, yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh. Maka ibadah dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hukum.
Dari segi praktisnya ibadah juga terbagi kepada ibadah yang langsung antara manusia dengan Allah seperti shalat puasa, dzikir, dan doa yang diistilahkan dengan ibadah khusus (ibadah makhdhah). Ada juga ibadah yang terkait dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang disebut ibadah umum atau muamalah. Dengan demikian ibadah dalam pandangan Ibnu Taimiyah mencakup seluruh perbuatan dalam hidup manusia baik perbuatan yang bersifat vertikal manusia dengan Tuhan ataupun yang bersifat horizontal hubungan antar sesama manusia.
Kaidah-kaidah Ibadah
Sebagaimana dikemukakan pandangan Ibnu Taimiyah di atas, maka ibadah pada garis besarnya dapat diklasifikasikan kepada dua bagian, ibadah ritual dan ibadah sosial. Prinsip yang membedakan antara kedua jenis ibadah ini dapat diperhatikan dari objek material dan objek formal dari ibadah tersebut. Secara meterial objek ibadah dan motivasi atau niyat yang melatarbelakngi ibadah ritual adalah Dzat yang diibadati secara langsung, yaitu Allah SWT. seperti ketika seorang sedang berdzikir, berdo'a, shalat, shaum, bertawakal, dan semacamnya maka manusia langsung berkomunikasi secara vertikal dengan Allah SWT. Sedang objek material dalam ibadah muamalah atau sosial adalah sesama manusia dan lingkungannya. Seorang yang menolong orang lain dengan membantunya, memberinya makanan dan pakaian, umpamnya, atau orang yang sedang bekerja menyelamatkan hutan dari kebakaran, secara lahiriyah ia berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya, tetapi motivasi orang itu mengharap kecintaan dan keridhaan Tuhan dengan menciptakan kemaslahatan hidup di tengah masyarakatnya.
Dari sudut objek formalnya perbedaan ibadah ritual dengan ibadah sosial adalah bahwa ibadah ritual telah mempunyai batasan-batasan yang baku dan detail. Shalat umpamanya telah ditatapkan dan diatur waktu, tempat, jumlah, dan tatacaranya secara baku yang tidak boleh dirubah dan ditambah-tambah lagi. Sehingga ada kaidah yang disepakati oleh para fuqaha, "Al-Ashlu fil ibadati al Buthlan hatta yaqûma al dalîl 'ala 'amrihi", atau kaidah "Al ashlu fil 'ibâdati al ittiba", dan sebagainya. Sedang ibadah muamalah kebalikan dari ibadah makhdhah, ia bersifat pleksibel. Syariat hanya mengatur batasan-batasan umum saja. Diantara batasan umum ibadah muamalah itu adalah al maslahat al mursalah atau kemaslahatan umum. Sehingga di kalangan para fuqaha Islam terkenal kaidah, "Al Ashlu fil mu'amalati al ibahah hatta yaquuma al dalîl 'ala tahrimihi".
Dengan kerangka berfikir dan kaidah-kaidah seperti di atas, maka ibadah dalam ajaran Islam ada yang konstan dan baku yang tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, ada ibadah mu'amalah yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman manusia dengan tidak keluar dari akarnya. Dengan demikian, antara keaslian ubudiyah yang statis di satu sisi dengan pleksibilitas ajaran Islam dalam merespons laju perkembangan kehidupan umat manusia dapat berjalan seiring sejalan secara seimbang.
Tuntutan beribadah
Mengapa manusia harus beribadah? Untuk menjawab pertanyaan ini akan dikemukakan dua aliran pemikiran. Yang pertama adalah yang berfaham bahwa kewajiban agama (ibadah) didapat pertama-tama oleh akal. Pendapat kedua yang berfaham bahwa kewajiban agama hanya diketahui melalui pewahyuan. Faham pertama adalah pendapat umum dari aliran Muktazilah. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H) salah seorang tokoh Muktazilah yang sangat berpengaruh, berteori bahwa kewajiban ada dua macam, kewajiban akli dan kewajiban syar'i. Kewajiban akli adalah kewajiban yang secara akal dapat dicapai oleh manusia tanpa menunggu adanya wahyu. Seperti akal manusia akan mengetahui bahwa mengembalikan titipan, membayar hutang, dan berterimaksih atas nikmat yang diperoleh adalah wajib. Sedang kewajiban syariat adalah kewajiban yang diketahui manusia berdasarkan syariat yang dibawa para nabi. Seperti wajibnya mengembalikan titipan, membayar hutang, mensyukuri ni'mat, shalat, dan sebagainya, dengan niyat semata-mata sebagai mendekatkan diri dan mengharap pahala dari Allah. sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Padahal semua itu tidak akan terjadi kecuali ketika seseorang sudah mengenal Allah. Maka mengenal Allah adalah kewajiban pertama manusia. Mengenal Allah tidak akan terjadi dan tidak mungkin diperoleh oleh manusia melainkan dengan berfikir. Karena itu berfikir tentang Allah adalah kewajiban akal manusia yang pertama.
Manusia mengenal Allah ketika memikirkan nikmat-nikmat-Nya. Nikmat berarti segala yang memberi manfaat kebaikan. Nikmat yang paling pertama dan besar manfaatnya adalah kehidupan. Secara akal manusia mengetahui bahwa nikmat harus dibalas dengan bersyukur. Bersyukur hakikatnya adalah mengakui bahwa nikmat itu pemberian dari Allah. Bersyukur  mencakup pengakuan dengan hati, lisan dan perbuatan. Akal juga mengetahui bahwa setiap yang membahayakan dan menimbulkan kerusakan pastilah tercela dan segala yang memberi manfaat dan kebaikan pastilah terpuji. Dengan berfikir yang mendalam akal dapat mencapai pengetahuan bahwa Allah pastilah Mahaesa dan Mahaadil. Keesaan dan keadilan sangat nyata dalam semua ciptaan dan nikmat-Nya yang dapat difikirkan manusia. Pengenalan manusia akan Allah yang Mahaesa dan Mahaadil memungkinkan manusia untuk menerima adanya wahyu dan diutusnya para nabi. Sebab Allah yang mahaesa dan Mahaadil pasti membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran dengan menurunkan wahyunya. Maka pengetahuan manusia akan keesaan Allah dan keadilan-Nya memastikan bahwa Allah wajib menurunkan Kitab bagi manusia. Sebab jika Allah tidak menurunkan kitab dan tidak mengutus nabi-Nya berarti Allah tidak adil terhadap manusia. Dengan demikian, akal adalah dasar sedang wahyu hanyalah penegasan dan perincian. Karena itu kewajiban manusia beribadah kepada Allah pertama-tama ditetapkan oleh akal yang mengharuskan berterimakasih atas nikmat dan kebaikan yang diterimanya. Kemudian diperjelas oleh syariat yang dibawa para nabi.
Teori kekuatan akal dalam mengetahui kewajiban jauh sebelum masa Al Qadhi Abdul Jabbar,  juga telah dikemukakan oleh Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al Razi seorang filosof Islam yang hidup antara tahun 863 – 925 M. Ar Razi bahkan lebih ekstrim lagi dalam memposisikan akal sebagai sumber kebenaran. Menurut Ar Razi, dengan kekuatan akalnya manusia dapat mengenal Tuhan, mengetahui benar salah, baik dan buruk, serta sanggup mengatur hidupnya di dunia ini. Karena itu ia berpendapat tidak perlu kepada wahyu dan nabi, serta mengingkari kemukjizatan Al-Qur'an.
Sementara aliran kedua yang dianut kaum Asy'ariyah dan Ahlus Sunnah menolak kemampuan akal untuk mengetahui kewajiban yang bbersifat taklifi sebagaimana halnya kewajiban beribadah. Akal hanya memperoleh pengetahuan secara umum tentang baik dan buruk. Tetapi untuk mengetahuinya seuatu itu wajib atau haram hanya dapat diketahui dengan wahyu. Argumentasi kaum Asy'ariyah dan Ahlus sunnah dalam masalah ini di antaranya merujuk kepada bukti bahwa Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk mengajari manusia kewajiban beribadah kepadanya dan ibadah yang paling pokok adalah mentauhidkan Allah. Bukti lain disebutkan pada ayat Al-Qur'an bahwa adanya hukuman atas pembangkangan hanyalah setelah diutusnya Rasul. Ini maknanya bahwa sebelum datangnya Rasul manusia belum dapat dihukumi sebagai mukmin atau kafir karena belum mengetahui kewajiban beribadah dan mentauhidkan Allah meskipun mereka telah mengetahui sebagian perkara yang dianggap baik dan buruk dengan kemampuan akalnya. Jadi akal semata tidak sampai kepada kemampuan untuk menetapkan suatu itu wajib atau haram secara hukum taklifi kepada manusia. Dengan demikian syariat yang berdasarkan wahyulah yang menjadi dasar hukum pengetahuan wajibnya beribadah kepada Allah, kemudian akal memahamkan dan berfikir sejalan dengan dalil-dalil syariat. 
Tujuan dan hikmah ibadah:
Berkaitan dengan pertanyaan apakah ibadah mempunyai tujuan atau maksud dan manfaat? Ibnul Qayim Al Jauziyah mengemukakan empat aliran pemikiran:
Pertama, aliran Jabariyah, yaitu mereka yang mengingkari adanya tujuan dan manfaat dari ibadah. Ibadah hanyalah semata-mata menunaikan perintah Allah, tidak terkait dengan kebahagiaan maupun keselamatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Argumentasi mereka dibangun di atas prinsip pemikiran bahwa segala sesuatu berada dalam "iradah dan masyi'ah" (kehendak dan kekuasaan) Allah yang mutlak dan bebas yang tidak terkait dengan sebab akibat, hikmah dan tujuan yang bisa diketahui manusia. Allah maha berkehendak dan berkuasa sekiranya orang-orang yang jahat masuk surga dan diberi segala kebahagiaan dan kenikmatan, atau sebaliknya orang-orang baik dan taat dimasukan ke dalam neraka, dan kehendak Allah itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dikatakan tidak adil sebab kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak di luar dari apa yang dapat diketahui manusia dan segala kehendak serta perbuatan Allah itu berada dalam ilmu dan keadilan-Nya yang mutlak juga. Dengan demikian dalam pandangan mereka ibadah dan kemaksiyatan sama saja sebagai manispestasi dari kehendak dan kekuasaan Allah pada makhluk-Nya. Yang taat adalah taat karena telah diciptakan untuk taat, yang membangkang adalah membangkan karena telah diciptakan untuk membangkang.
Kedua, mereka yang berpandangan sebaliknya dari aliran pertama. Mereka berpendapat bahwa ibadah itu tujuannya semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Tidak ada sedikitpun yang tujuannya untuk Tuhan. Nasib dan kebahagiaan manusia semata-mata ditentukan oleh perbuatannya sendiri. Pandangan mereka didasarlkan atas teori kebebasan manusia dan keadilan Tuhan. Manusia benar-benar bebas dan merdeka menentukan dan memilih kebaikan dan keburukan dan Tuhan tidak mengintervensi kehendak dan pilihan manusia itu melainkan hanya membalsanya dengan adil. Maka beribadah pada hakikatnya mengumpulkan balasan atau pahala demi kebahagiaan manusia sendiri dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.
Ketiga, aliran yang berpendapat bahwa ibadah semata-mata penyucian jiwa. Tujuan ibadah adalah melatih manusia bagaimana meningkatkan derajat kemanusiaannya agar mencapai kedudukan yang dekat kepada Allah. Manfaat ibadah adalah meningkatkan manusia dari kedudukannya sebagai tumbuhan dan binatang kepada kemanusiaan dengan cara meningkatkan kualitas sepiritual untuk sampai kepada maqam seperti malaikat. Maka ibadah yang sempurna akan melepaskan manusia dari ketergantungan terhadap dan keterpasungan oleh dunia materi.
Keempat, mereka yang berpendapat bahwa tujuan ibadah adalah perwujudan dari tujuan penciptaan makhluk itu sendiri dimana Allah menciptakan jin dan manusia agar beribadah kepada-Nya. Hikmah ibadah bagi manusia adalah untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kebahagiaan manusia ketika mereka merasakan kecintaan yang hakiki. Puncak ibadah adalah kecintaan yang mutlak kepada Allah. Kecintaan kepada Allah menyebabkan manusia tunduk dan patuh dengan rasa bahagia. Cinta kepada Allah menuntut cinta kepada segala yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci-Nya. Allah perintahkan bahwa jika manusia mencintai Allah hendaklah mengikuti Rasul-nya. Ibadah dengan penuh kecintaan kepada Allah menyebabkan jiwa  menjadi suci dan kasih sayang terhadap makhluk, maka ibadah menjadi rahmat bagi semesta alam.

Penutup
Pembahasan ibadah dengan pendekatan filosofis masih banyak segi dan aspeknya. Demikian juga pemahaman ibadah dapat dilakukan dengan pendekatan teologis, sosiologis, dan psikologis. Ibadah dalam Islam memang memberi ruang yang luas untuk dikaji dari berbagai aspeknya. Banyak ahli yang telah meneliti bagian-bagian tertentu dari ibadah Islam dengan tinjaun yang berbeda-beda. Seperti filosofi shalat, haji, shaum, zakat, dan sebagainya. Demikian juga shalat dalam tinjauan kesehatan, tinjaun sosial, haji dalam tinjauan sosial-politik, dan seterusnya. Namun karena keterbatasan penulis hanya dapat memaparkan sebagian kecil aspek filosofis dari ibadah sebagaimana di atas.
REFERENSI
Al Azhary, Tahdzibul Lughah, (Maktabah Syamilah: www.alwarraq.com)
Al Jurjani, At Ta'rîfât, (Maktabah Syamilah: www.alwarraq.com)
Al Qadhi Abdul Jabbar, Syarah Ushul Al Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996)

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1999)
Asy-Syahrastâni, Nihâyatul Iqdâm fi ilmil kalam, (www.alwaraq.com : maktabah syamilah)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2001)
----------, Falsafah dan Mistisime Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet ke-10, hal. 18
Ibnu Taimiyah, Darut ta'arud al aqli wa an naqli, (Riyadh: Darul kunuz al adabiyah, 1393H),
----------, Al Ubudiyah, dalam Majmu al Fatawa, (www.alwarraq.com: Maktabah Syamilah)
Ibnul Qayim Al Jauziyah, Madarijus Salikin Baina Manzilati Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in, (Bairut: Darul Kitab Al Arabiyah, 1973) cet ke-2, juz I, hal. 91-98
Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam, Al Imâm fî bayâni adillatil ahkâm (Maktabah       Syamilah)
Juhaya S Praja, Ringkasan Sejarah Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA, 2009)
Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar el Shadir, tt)
Sidi Ghazalba, Ilmu, Flsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2001), hal.3. Bandingkan dengan Sidi Ghazalba, Ilmu Filsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal, 102
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1999), hal.1
[3] Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar el Shadir, tt), juz III, hal. 273. Bandingkan dengan Al Azhary, Tahdzibul Lughah, juz I, hal. 231.
[4]Perhatikan surat Al Maidah : 60
[5] Terjemah dari Al-Qur'an Surat Al Jatsiyah ayat 23 dan Surat Al Furqan ayat 43
[6]Al Jurjani, At Ta'rîfât, (Maktabah Syamilah: www.alwarraq.com) , hal. 46
[7] Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah dalam Majmu' al fatawa, (Maktabah Syamilah), juz, x, hal. 149
[8]Untuk lebih luasnya argumen masalah ini silakan baca Al Qadhi Abdul Jabbar, Syarah Ushul Al Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), cet ke-3, hal 77- 89
[9]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet ke-10, hal. 18
[10]Perhatikan di antaranya  Imam Asyahrastâni, Nihâyatul Iqdâm fi ilmil kalam, (www.alwaraq.com : maktabah syamilah),  hal. 129. Periksa juga, Ibnu Taimiyah, Darut ta'arud al aqli wa an naqli, (Riyadh: Darul kunuz al adabiyah, 1393H), Juz I, hal. 122
[11] Surat Al Isrâ ayat  15
[12]Ibnul Qayim Al Jauziyah, Madarijus Salikin Baina Manzilati Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in, (Bairut: Darul Kitab Al Arabiyah, 1973) cet ke-2, juz I, hal. 91-98
[13] Surat Ali Imran ayat 31 menyatakan, "Katakanlah olehmu Muhammad, kalau kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah membalas mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah itu Mahapengampun lagi Mahapenyayang".

0 komentar:

Posting Komentar